SURABAYA — Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI, Puti Guntur Soekarno, menegaskan pentingnya revitalisasi kesenian tradisi agar mampu bertahan dan bersaing di tengah gempuran era digital. Hal itu ia sampaikan dalam forum Semarak Kebudayaan yang digelar di Surabaya, akhir pekan kemarin.
Dalam paparannya, Puti menyebut Surabaya sebagai pusat dinamika budaya yang unik. “Surabaya, dengan Budaya Arek-nya yang egaliter, terbuka, dan blak-blakan, adalah episentrum di mana tradisi dan modernitas selalu bertarung, bernegosiasi, dan akhirnya melahirkan sesuatu yang baru dan kuat,” ungkap Puti Guntur, Minggu (16/11/2025).
Kota Surabaya, sebutnya, memiliki potensi besar dalam pelestarian sekaligus pengembangan kesenian tradisi. Dia menegaskan bahwa tradisi tidak boleh diposisikan semata sebagai ingatan masa lalu, melainkan sebagai aset masa depan yang bisa dikembangkan secara profesional.
Salah satu contoh yang dia soroti adalah Ludruk. Menurutnya, kesenian khas Jawa Timur itu dapat dikelola layaknya pertunjukan profesional dengan jadwal reguler yang mudah diakses wisatawan.
“Bayangkan jika Ludruk dikelola seperti Broadway atau Tari Kecak di Bali,” kata Puti.
Baca juga: Puti Guntur Dorong Penguatan Apresiasi Masyarakat terhadap Kesenian Tradisi
Dia juga menilai Kidungan Jula-Juli memiliki potensi besar untuk diadaptasi ke format digital sebagai kekayaan intelektual yang otentik.
Puti juga menyinggung Gulat Okol sebagai tradisi agraris yang bertahan di tengah kehidupan metropolitan. Tradisi itu, menurutnya, bisa dikembangkan menjadi experience tourism yang memberi kesempatan wisatawan untuk terlibat langsung dalam pengalaman budaya.
Lebih lanjut, Puti menyatakan bahwa era digital bukanlah ancaman bagi kebudayaan. Cucu sang proklamator Bung Karno itu menyebut teknologi sebagai “panggung baru” yang dapat memperluas akses dan pelestarian seni tradisi.
Dengan pengguna aktif media sosial yang mencapai 143 juta jiwa, panggung digital dianggap sebagai peluang besar untuk memperkenalkan kesenian lokal ke tingkat global.
“Konten unik seperti Gulat Okol bisa tiba-tiba disaksikan oleh penonton di Jepang atau Brasil. Lakon Ludruk yang direkam hari ini bisa ditonton kapan saja oleh diaspora kita di New York,” ujarnya.
Puti juga menyoroti potensi ekonomi yang terbuka lebar melalui digitalisasi.
Dia menyebut adanya digital tipping sebagai bentuk apresiasi baru yang bisa langsung diterima seniman melalui dompet elektronik. Menurutnya, mekanisme ini dapat menjadi sumber penghasilan tambahan bagi para pelaku seni.
Meski begitu, Puti menegaskan bahwa revitalisasi tidak bisa dilakukan sepihak. Dia menekankan perlunya sinergi antara Pemerintah Kota Surabaya, pemerintah pusat, LSM, akademisi, budayawan, dan masyarakat.
“Kita harus bersama-sama menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi keberadaan kesenian tradisional yang kian memudar,” tutur Puti.
Dia juga mengingatkan bahwa keberhasilan revitalisasi sangat bergantung pada kesiapan para pelaku seni tradisi itu sendiri. Di era digital, kata Puti, adaptasi merupakan keharusan.
Seniman dituntut meningkatkan kualitas sumber daya manusia, memperluas wawasan berkesenian, dan mampu mengemas seni tradisional agar relevan dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan filosofi dasarnya.
“Tanpa usaha adaptasi ini, seni tradisional akan tertinggal dan terus mengalami pemudaran,” pungkasnya. (yols/pr)