SURABAYA – Kunjungan Ganjar Pranowo, bakal calon presiden (capres) yang dipilih PDI Perjuangan ke Kota Surabaya akhir pekan kemarin, disebut Taruna Merah Putih (TMP) Jawa Timur bukan sekadar napak tilas biasa. Tapi sebuah langkah nyata menyerap spirit Soekarno.
Menurut Wakil Sekretaris TMP Jawa Timur, Tarmuji, perjuangan Kota Pahlawan untuk diakui sebagai tempat kelahiran Sang Proklamator bukanlah langkah yang mudah.
“Sebelumnya diketahui bahwa Soekarno dilahirkan di Blitar. Tapi dari temuan sejarawan dan dengan didorong oleh goodwill dari Pemerintah Kota Surabaya, maka kajian lebih lanjut mengenai sejarah tempat lahir Soekarno terjadi,” kata Tarmuji di Surabaya, Selasa (9/5/2023).
Menurutnya, hal itu berawal dari pernyataan almarhum Roeslan Abdulgani, sahabat Bung Karno serta mantan Menteri Luar Negeri, yang asli kelahiran kampung Peneleh. Kemudian diperkuat hasil riset dan penelitian Pieter A. Rohi.
Di antaranya berdasar kesaksian data sekunder. Seperti ijazah Bung Karno di ITB, yang tertulis tempat lahirnya di Surabaya. Kemudian ditemukan rumah kecil di Pandean Gang IV No. 40.
“Prosesnya kala itu Wali Kota Bambang DH berani meresmikannya dengan penandatanganan prasasti. Keyakinan ini dibuktikan dengan mengirim surat ke pemerintah pusat untuk meluruskan persoalan ini,” lanjut Tarmuji.
Tarmuji mengungkapkan, kehadiran Ganjar Pranowo di Rumah Kelahiran Soekarno (Bung Karno), Jalan Pandean IV, Peneleh, Surabaya memiliki makna mendalam.
“Bahwa Ganjar Pranowo menyerap energi dari lokasi dimana Soekarno melihat dunia pertama kali,” ujarnya.
Tak hanya itu, di Surabaya Ganjar Pranowo juga hadir di Posko Pemenangan Pandegiling. Seperti diketahui, Posko Pandegiling menjadi saksi sejarah, semangat juang para kader PDIP melawan Orde Baru.
“Dahulu, tahun 1996 sampai era Reformasi 1998, tempat itu dikenal dengan Posko Pandegiling. Di sana masih bertengger prasasti, tetenger, yang menandai pergerakan PDI Pro-Mega. Prasasti diresmikan Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, pada 2001,” terangnya.
Dimulai 1996, posko itu menjadi tempat berkumpulnya massa, tempat koordinasi dan konsolidasi. Berdirinya Posko Pandegiling dipicu terjadinya Kongres PDI dari faksi Soerjadi, Buttu Hutapea, Fatimah Ahmad dan Latief Pudjosakti, di Medan, April 1996.
“Tujuan kongres, mendongkel Megawati Soekarnoputri dari Ketua Umum DPP PDI Megawati Soekarnoputri. Pemerintahan Orde Baru disebut santer mensponsori, melindungi dan memfasilitasi kongres,” urai Tarmuji.
Megawati sendiri terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI, tahun 1993, dalam Kongres Luar Biasa di Asrama Haji, Sukolilo, Kota Surabaya.
“Masa-masa itu, dikenang sebagai fase sulit nan panjang, yang menggembleng PDI Pro Mega. Karena mereka hidup di bawah pengawasan dan tekanan keras militer dan birokrasi. Bahkan, salah satu tokoh PDIP Surabaya yaitu Bambang DH sempat terkurung di posko tersebut beberapa hari karena dikepung aparat.Jika di Jakarta pecah Tragedi 27 Juli 1996 (Kudatuli), yang menelan banyak korban, di Kota Surabaya terjadi, Minggu 28 Juli 1996. Banyak korban ditangkap dan mengalami tindakan represif,” beber pria yang juga jurnalis ini.
Di Posko Pandegiling pula, para eksponen dan warga PDI Pro Megawati dipimpin oleh Ir Sucipto dan L Soepomo melakukan cap jempol darah. Itu terjadi tahun 1996 dan 1999. Kemudian, berlangsung lagi tahun 2004, saat Pemilihan Presiden.
Sementara Balai Pemuda, tempat yang juga menjadi titik temu para pendukung Ganjar Pranowo, tak kalah bersejarah dengan lokasi lain.
Mengutip buku “Surabaya: Di mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?” karya Ady Setyawan, Frank Clune mencatat, Simpang Club dikenal sebagai tempat eksekutif dan mewah bagi warga Belanda dan tamu Eropa lainnya. Mereka yang gemar bermain tenis, billiard, dansa atau bermain kartu akan berkumpul di Simpang Club.
Di halamannya terdapat dua papan hitam dengan tulisan cat putih bertuliskan kalimat yang senada. “Verboden voor Inlander en hond!”. Bila diartikan, “Dilarang masuk bagi pribumi dan anjing”.
Menurut Tarmuji, tulisan dalam papan ini dinilai sangat merendahkan, diskriminatif dan sangat rasialis. Walau demikian, tulisan pada papan plakat ini, juga mendapat tentangan dan protes dari beberapa orang Belanda.
“Balai Pemuda di era Orde Baru terkenal sebagai tempat pameran dan hiburan dengan adanya bioskop mitra yang cukup terkenal,” ujarnya
Sementara itu, menurut pemerhati sejarah dari Begandring Soerabaia, Kuncarsono Prasetyo, di era Walikota Bambang DH, dilakukan pengembalian fungsi sebagai tempat berkumpulnya anak-anak muda melalui aktivitas seni kebudayaan.
Bambang DH memang diketahui menghentikan kerjasama dengan EO sekaligus membongkar bioskop Mitra untuk dijadikan gedung seni yang bisa dimanfaatkan sampai sekarang. (red)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS