SURABAYA – Komisi C DPRD Surabaya mendesak pemerintah kota (pemkot) membeli bangunan cagar budaya (BCB), khususnya yang bernilai historis tinggi. Langkah ini perlu dilakukan agar tak terulang kasus perobohan BCB, sebagaimana terjadi pada rumah bekas tempat Bung Tomo berpidato mengobarkan semangat juang melawan tentara kolonial di Surabaya 1945 lalu.
Saat ini, ada 273 bangunan cagar budaya di Kota Pahlawan. Untuk bangunan yang tanpa disertai kajian teknis atau asal stempel BCB, Komisi C minta dibebaskan saja status cagar budayanya agar tidak menjadi beban pemkot terkait perawatannya.
Pelabelan BCB tanpa akuisisi dan perawatan serius dari Pemkot Surabaya, juga dinilai merugikan warga pemiliknya. Seperti disampaikan anggota Komisi C Riswanto, selain tidak berpihak kepada pemiliknya, pelabelan status BCB itu bahkan terkesan merampas hak pribadi warga.
Menurut anggota Fraksi PDI Perjuangan ini, pemberian label cagar budaya itu sama sekali tidak memikirkan bagaimana nasib pemiliknya yang secara otomatis tidak bisa berbuat apa-apa. Artinya, jelas dia, hal ini sama dengan merampas hak pribadi seseorang.
“Karena pemkot tidak punya solusi ketika pemilik bangunan cagar budaya terhimpit ekonomi, dan ingin memanfaatkan atau menjual bangunan miliknya,” tandas Riswanto, kemarin.
Sedang Ketua Komisi C Syaifuddin Zuhri minta pemkot melalui dinas terkait menjatuhkan sanksi tegas bagi pelaku pembongkaran BCB Rumah Radio Perjuangan Bung Tomo di Jalan Mawar nomor 10.
Sanksi tegas itu, sebut Syaifuddin, harus dijatuhkan ke pelaku pembongkaran, karena aturannya sudah jelas. Yakni, pasal 105 UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang menyatakan, setiap orang dengan sengaja merusak cagar budaya dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun, dan paling lama 15 tahun. Atau denda paling sedikit Rp 500 juta dan paling banyak Rp 5 miliar.
Catatan anggota dewan, jelas Ipuk, sapaan akrab Syaifuddin, bukan kali ini saja Disbudpar kecolongan dalam pengawasan bangunan bersejarah di Kota Surabaya. Seperti penggusuran Stasiun Semut, dan Sinagoge di Jalan Kayon 4-6.
Padahal, tambah dia, pasal 99 ayat 1 UU 11/2010 menyebutkan, pemerintah pusat atau pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pengawasan pelestarian cagar budaya sesuai kewenangannya. “Kalau masih saja kecolongan kan aneh. Ada apa ini?” ucap pria yang juga Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya itu.
Sementara itu, Kepala Disbudpar Kota Surabaya Wiwiek Widayati merunut awal kejadian pembongkaran BCB bekas markas radio penyiaran pemberontakan oleh Bung Tomo. Pihaknya menerima surat permohonan izin renovasi bangunan pada 26 Februari 2016, dan pada 14 Maret 2016 Disbudpar mengeluarkan izin rekomendasi.
“Kami baru tahu kalau bangunan sudah rata dengan tanah pada 3 Mei. Sebelumnya memang tidak ada pengecekan di lapangan,” aku Wiwiek.
Dia menjelaskan, pengeluaran izin itu masih menggunakan nama pemilik bangunan yang lama, bernama Amin. Sehingga dari Disbudpar sendiri tidak memiliki kecurigaan bahwa bangunan cagar budaya itu sebenarnya sudah beralih pemilik.
Selain itu, tambah Wiwiek, kalau memang yang mengajukan adalah masih pemilik yang sama, Disbudpar beranggapan mereka sudah mengerti tentang aturan memiliki BCB. Termasuk seberapa jauh batasan bangunan cagar budaya dengan tipe B boleh direnovasi.
Terlebih yang mengurus izinnya saat itu adalah ahli waris dari pemilik lama. Sertifikat kepemilikan aset juga masih menggunakan nama orang lama.
“Kami minta pihak yang membongkar untuk merekonstruksi ulang bangunan eks radio perjuangan Bung Tomo,” tandasnya.
Piihaknya mengakui bahwa pemkot merasa cukup kewalahan untuk mengawasi 273 bangunan cagar budaya satu per satu. Sehingga tidak semua bangunan cagar budaya yang ada bisa termonitor.
“Kalau dari segi pengawasan, kami sebenarnya sudah melakukan berbagai upaya untuk pengawasan. Mulai dari memasang plakat, lalu juga mengumpulkan pemilik untuk sosialisasi dan juga pengawasan rutin,” jelas Wiwiek. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS