Oleh: Eri Irawan*
TRI Rismaharini kembali. Kali ini dengan misi lebih besar: memperbaiki kondisi Jawa Timur. Dan kita tahu, dia punya semuanya untuk itu. Kegigihannya adalah modal besar seorang pemimpin yang senantiasa ditunggu, bagaikan elang-rajawali yang tabah di masa pancaroba seperti pidato Bung Karno pada perayaan HUT Kemerdekaan RI 1949.
Risma tidak hadir dari ruang hampa. Dia tidak lahir tanpa rekam jejak. Bukan seorang pemimpin yang berasal dari antah berantah yang kemudian muncul dengan menjual wajah melas di hadapan publik. Risma adalah Risma. Seorang yang dibentuk dengan perjalanan panjang dunia birokrasi dan politik, sebuah dunia yang memaksa orang untuk—meminjam istilah Tan Malaka, “terbentur-terbentur-terbentur-terbentuk”.
Mengawali kariernya sebagai Kepala Seksi Tata Ruang dan Tata Guna Tanah Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya pada 1997, Risma tumbuh bersama sistem merit birokrasi yang tertata rapi. Pengetahuan dan pengalamannya di bidang tata kota dan bagaimana menyejahterakan rakyat terakumulasi dari sekian “tour of duty” di Pemerintah Kota Surabaya.
Kemampuannya untuk menata dan membangun Surabaya teruji saat Risma menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya pada 2008 dan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya pada 2010. Dia memahami bagaimana seharusnya sebuah kota metropolitan berstandar dunia diwujudkan di Surabaya.
Namun pemahamannya baru bisa diwujudkan menjadi tindakan dan kebijakan yang lebih konkret saat terpilih menjadi Wali Kota Surabaya selama dua periode pada 2010-2020. Risma membuat sekian gebrakan, mulai dari menata banyak taman kota, membuat Surabaya lebih hijau, membuka jalan lingkar untuk memecah kemacetan, beragam program pro rakyat, hingga ketegasannya membangun sistem antikorupsi melalui e-procurement, e-budgeting dan e-planning.
Kebijakannya yang paling fenomenal dan berani tentu saja adalah menutup pusat lokalisasi terbesar di Asia Tenggara, Dolly. Dia bersedia untuk diserang oleh mereka yang tidak setuju dengan berbagai dalih. Namun, Risma bergerak atas dasar kemanusiaan. Dia tak ingin ada lagi perdagangan manusia terjadi di depan matanya pada saat masih berkuasa.
Jauh sebelum blusukan menjadi populer, Risma sudah melakukannya tanpa publikasi pers. Dia bekerja dalam sunyi hanya untuk melayani dan memahami keinginan warga kota. Saat banjir terjadi, Risma datang dengan berbalut jas hujan dan membawa handy talkie mengomandani penanganannya agar cepat surut. Dia seperti memahami benar bagaimana lekuk-lekuk kota ini seperti memahami dirinya sendiri.
Risma juga rela turun langsung membela warganya di tengah konflik. Saat kerusuhan di Tol Simo terjadi pada medio Juni 2014, dia turun tangan meminta massa yang menyerang polisi untuk membubarkan diri. Semprotan gas air mata sempat membuat matanya perih. Namun dia tak mundur.
Gebrakan-gebrakan teknokratik Risma, yang ditopang sifat welas asihnya dalam membela warga Surabaya serta komitmennya pada anti korupsi, membawa tokoh perempuan peraih Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA) tersebut memenangi hati 893.087 warga Surabaya atau 86,34 persen dari suara pemilih pada Pilkada 2015. Warga melihat ketulusan hatinya untuk melayani dan mengayomi, seperti yang pernah diucapkan Bung Karno, “Bunga mawar tidak pernah mempropagandakan harumnya, namun keharumannya dengan sendirinya menyebar melalui sekitarnya.”
Risma memiliki komitmen antikorupsi yang kuat. Bukan hanya dengan kata-kata, melainkan juga dengan tindakan dan kebijakan. Saat menjabat Kepala Bagian Bina Pembangunan pada 2002, Risma membangun sistem e-Government di Pemkot Surabaya yang termasuk salah satu yang pertama di Indonesia, dengan pemantauan pada pengadaan barang/jasa secara bersih dan transparan.
Visi dan keberanian Risma membuat anggaran dibelanjakan secara efektif untuk pembangunan. Di Surabaya, dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) didedikasikan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat, karena Risma mampu membangun sistem yang baik. Risma sukses menggratiskan layanan pendidikan dan kesehatan, membangun ruang-ruang publik yang indah dan tertata, membuat Surabaya begitu hijau, menangani banjir secara optimal, dan beragam kinerja nyata yang dirasa rakyat.
Bayangkan jika kekuatan APBD yang berkisar Rp33 triliun mampu dibelanjakan secara efektif dan efisien karena dilandasi semangat transparansi, maka pembangunan merata bisa dirasakan seluruh masyarakat.
Setelah sempat menjadi Menteri Sosial, Risma kini kembali ke Jawa Timur untuk bertarung dalam pemilihan gubernur bersama ulama muda Zahrul Azhar Asumta atau Gus Hans. Targetnya terang-benderang: kemenangan.
Hanya dengan kemenangan, maka kewenangan bisa diambilalih. Bukan untuk kepentingan pribadi, namun untuk kepentingan rakyat, terutama mereka yang tertindas dan dipinggirkan. Risma tentu memahami itu. Apalagi dia pernah menjadi Menteri Sosial yang berurusan dengan persoalan-persoalan kemiskinan dan penderitaan.
Bu Risma kini kembali. Masyarakat Jawa Timur seperti menemukan oase teladan kepemimpinan yang merakyat dan selalu menginspirasi melalui bukti kinerja. We love you, Bu Risma!
*Kader PDI Perjuangan Kota Surabaya
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS