Direnungkan rentang tahun 1934-1938 dan dipidatokan 1 Juni 1945. Bung Karno menamainya: Pancasila.
“DI DEPAN rumahku (Ende, Flores) terdapat pohon Sukun tempat aku merenungkan dasar dari negara Indonesia Merdeka,” kata Bung Karno dalam buku otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, ditulis Cindy Adams, Diterbitkan Yayasan Bung Karno, Edisi Revisi, 2007.
Dasar-dasar negara hasil daya pikirnya itu yang kelak dipidatokan oleh Sukarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) di Jakarta, 1 Juni 1945.
Dalam pidatonya, Sukarno panjang lebar menjelaskan dasar-dasar negara yang ia sarikan menjadi lima poin atau sila yang ia namakan dengan: Pancasila.
Kata Pancasila yang dikemukakan Sukarno dalam pidatonya pada waktu itu, menjadi penanda lahirnya Pancasila yang diperingati saban 1 Juni.
Baca juga: Naskah Lengkap Pidato Sukarno 1 Juni 1945, Lahirnya Pancasila
Kembali ke Ende. Di daerah ini Sukarno menjalani masa pembuangan sejak 1934 sampai 1938. Di bawah pohon Sukun itu, Sukarno kerap duduk hingga berjam-jam. Menyendiri. Melakukan permenungan. Meski, diakuinya, ia kerap menggigil di tempat itu karena terpaan angin laut.
Dari tempat itu pula Sukarno memandangi lautan. Ia pun membandingkan pasang surut gelombang dengan perjalanan revolusi bangsanya.
“Revolusi kami, seperti juga lautan, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu, harus tahu, bahwa semua ciptaan dari Tuhan Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, di bawah hukum dari Yang Maha Ada.”
Menyelesaikan 12 Naskah
Tak ingin terbunuh sepi di tempat pembuangan Ende, Sukarno mendirikan perkumpulan sandiwara Kelimutu. Nama ini ia ambil dari nama danau tiga warna di Flores.
Tak hanya mendirikan perkumpulan itu, Sukarno pun menjadi sutradara hinga penulis naskah. Bahkan, suatu ketika, saat Kelimutu pentas di sebuah gedung, Sukarno pun turut menjual tiket pertunjukan.
“Aku sendiri yang menjual tiketnya.”
Belasan naskah Sandiwara berhasil diselesaikan Sukarno selama menjalani pengasingan di Ende.
“Dari tahun 1934 sampai 1938 aku menyelesaikan 12 naskah,” ungkap Sukarno dalam Buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Naskah pertama Sukarno diilhami Frankenstein. Naskah ia beri judul Dr Setan. Peran utamanya adalah Boris Karloff Indonesia yang menghidupkan mayat dengan melakukan transplantasi hati dari orang yang hidup.
Sukarno menyebut, ada pesan tersembunyi terkandung di dalam sandiwara Dr Setan. Yakni, tubuh Indonesia yang sudah tidak bernyawa dapat bangkit dan hidup lagi. (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS