MOJOKERTO – Upaya sistematis Pemerintah Kota (Pemkot) Mojokerto dalam menanggulangi stunting selama lima tahun terakhir menunjukkan hasil nyata. Sejak akhir 2024, dua kelurahan yaitu Kelurahan Meri dan Kelurahan Purwotengah, berhasil mencapai status zero stunting.
Capaian ini menjadi indikasi kuat bahwa strategi lintas sektor dan berbasis komunitas yang dijalankan Pemkot Mojokerto memberikan dampak positif terhadap kesehatan dan tumbuh kembang anak.
Wali Kota Mojokerto, Ika Puspitasari mengatakan, dari 18 kelurahan, prevalensi stunting tertinggi ada di Kelurahan Kedundung sebesar 2,10 persen.
“Tapi ini juga kelurahan terbesar dengan jumlah penduduk paling banyak. Sedangkan yang paling kecil adalah Kelurahan Kauman, hanya 1,02 persen,” jelas Ika Puspitasari, dalam forum Penilaian Kinerja Pencegahan dan Percepatan Penurunan Stunting yang digelar daring TPPS Provinsi Jawa Timur, Rabu (11/6/2025).
Wali kota yang akrab disapa Ning Ita, menegaskan bahwa keberhasilan ini tidak terjadi secara instan. Data dari aplikasi Elektronik Pencatatan dan Pelaporan Gizi Berbasis Masyarakat (EPPGBM) menunjukkan tren penurunan prevalensi stunting yang konsisten sejak 2020.
Lima tahun lalu, angka stunting di Kota Mojokerto tercatat sebesar 7,71 persen. Angka ini terus menurun menjadi 4,84 persen (2021), 3,12 persen (2022), 2,04 persen (2023), dan menyentuh 1,54 persen pada 2024. Bahkan hingga April 2025, angka tersebut kembali turun menjadi 1,47 persen.
Capaian ini didukung oleh sistem data yang terintegrasi melalui aplikasi Gayatri, yang merekam hasil pemantauan posyandu dari bayi hingga lansia, dan terhubung dengan layanan di puskesmas dan rumah sakit.
Lebih dari 1.600 kader motivator juga terlibat aktif memantau kondisi keluarga di lingkungan masing-masing. “Setiap kader memantau sekitar 20 sampai 30 rumah, sehingga mereka tahu persis kondisi di lapangan,” ujar dia.
Menurutnya, Pemkot Mojokerto telah melakukan analisis situasi menyeluruh. Pendekatan ini meliputi pemetaan terhadap lima kelompok sasaran prioritas, evaluasi hambatan program di tahun sebelumnya, hingga penguatan intervensi spesifik dan sensitif di seluruh kelurahan.
Semua kelurahan ditetapkan sebagai lokus Pencegahan dan Percepatan Penurunan Stunting (PPPS), menciptakan dasar yang kuat untuk pemerataan kebijakan dan intervensi.
Keseriusan ini juga tercermin dari penguatan komitmen lintas organisasi perangkat daerah (OPD). Jika pada tahun 2022 hanya 10 OPD yang terlibat, maka pada 2025 jumlahnya meningkat menjadi 19 OPD, yang bersama-sama menjalankan 179 sub kegiatan dalam kerangka percepatan penurunan stunting.
“Angka ini menunjukkan bahwa penanganan stunting bukan hanya urusan dinas kesehatan. Semua sektor punya kontribusi,” tegas wali kota.
Tak hanya dari sisi birokrasi, berbagai inovasi berbasis masyarakat juga menjadi tulang punggung dalam strategi Kota Mojokerto.
Beberapa program unggulan antara lain Gempa Genting (Segenggam Sampah Gawe Anak Stunting), Canting Gula Mojo (Cegah Stunting Gerak Unggul Pemberdayaan Masyarakat), Pak Miang (Pelibatan Kader Asman Toga dan Akupresur untuk Asi Eksklusif), serta Pasupati, Gemulai, Jarik Linting, dan Gentala, yang semuanya dirancang untuk memperluas jangkauan dan partisipasi masyarakat dalam mencegah dan menangani stunting.
Capaian Kota Mojokerto ini tidak hanya layak diapresiasi, tetapi juga menjadi bukti bahwa pendekatan terintegrasi, berbasis data, dan melibatkan akar rumput adalah kunci keberhasilan dalam perang melawan masalah gizi kronis yang selama ini membayangi masa depan anak-anak Indonesia. (fath/pr)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS