Oleh Set Wahedi*
Berita demonstrasi di beberapa kota mengingatkan saya pada tukang cukur atau tukang potong rambut langganan semasa jadi mahasiswa: Pak Ali. Dia telah menjalani profesi sebagai tukang cukur kurang lebih 30 tahun. Selepas lulus SMA, begitu Pak Ali menceritakan sekuel hidupnya, dirinya mengadu nasib ke kota. Dengan berbekal kemampuan mencukur, Pak Ali bertarung dengan terik dan bising jalanan kota.
“Cukuplah,” ujar Pak Ali tentang penghasilan yang diperolehnya setiap hari. Satu kepala dibanderol 8 ribu, dan setiap hari Pak Ali bisa memotong 7-10 kepala. “Paling apes saya hanya dapat satu kepala,” ujarnya dengan nada lugas. Rata-rata satu bulan, Pak Ali mengantongi satu koma dua sampai satu koma lima juta setelah dipotong uang kontrakan.
Pak Ali, satu dari sekian tukang cukur Madura yang saya temui di kota rantau. Etos kerjanya, keuletannya, dan keyakinannya akan jalan rezeki ‘min haitsu la yahtasib,’ telah benar-benar menempatkan dirinya pada posisi prestise tak tergoyahkan: tukang cukur andalan. Meski bukan salon mewah, kios cukur Pak Ali cukup memuaskan banyak pelanggan, terutama mereka yang berkantong tipis.
Tukang cukur Madura memang menjadi salah satu trade-mark orang Madura. Selain anekdot pengasong sampah, besi tua, warna biru daun, cerita tukang cukur Madura seperti bertebaran di mana-mana. Bahkan, tak bisa dipungkiri, tukang cukur seolah merupakan salah satu profesi yang melekat pada diri orang Madura, meski tidak semua orang Madura lihai memotong rambut.
Kata Pak Ali, mencukur itu butuh ketelatenan. Tidak perlu pintar atau harus kuliah empat tahun. Tapi kalau kau mau kursus atau kuliah di jurusan cukur-mencukur silakan saja. Toh, ketelatenan ditambah ilmu pengetahuan yang luas, tentunya akan menghasilkan karya seni bercita rasa tinggi. Ketelatenan tukang cukur pertama-tama dimulai dalam menggunakan gunting. Jika tidak telaten, tangan cepat capai. Telaten itu butuh cinta, kata Pak Ali. Dengan kita punya cinta untuk mencukur, tangan kita terasa kuat. Kepala pelanggan terasa padang sabana, dan kita bisa memasukinya dengan mata berbinar dan dada berbunga.
Yang kedua, memahami rambut. Rambut lurus, kriting, jenis perempuan, jarang keramas, dan lainnnya, cara mencukurnya berbeda-beda. Tekniknya berbeda. Karena hanya bermodal ketelatenan, Pak Ali menjadikan pengalaman sebagai guru terbaik. Dan Pak Ali pernah salah dalam memahami jenis rambut. Hasilnya cukup mencemaskan, si pemilik kepala lebih ganteng dengan model plontos.
Ketiga, model rambut. Nah, urusan model rambut, Pak Ali menyarankan untuk tukang cukur pemula, lebih baik mengikuti kursus. Hampir satu tahun lebih, Pak Ali menolak beberapa permintaan model rambut ‘pasiennya’. Apakah keuletan Pak Ali tidak cukup untuk menjawab permintaan pelanggannya? Bukan. Ternyata, memenuhi selera atau kebutuhan pelanggan membutuhkan satu kecermatan dan kecerdasan. Seorang tukang cukur tidak bisa bertahan dengan hanya ulet. Dia harus mampu taktis memenuhi keinginan pelanggannya.
Tentang pilihannya menjadi tukang cukur, Pak Ali punya alasan simpel. Menurutnya, setiap orang pasti potong rambut. Tapi tidak setiap orang bisa memotong rambut. Meski tidak setiap hari, jumlah orang potong rambut dibanding tukang cukur, pasti lebih banyak. Tapi secara ekonomis tidak menguntungkan, Pak? Pak Ali berkilah, dalam hitungan hidup, ‘merasa cukup’ itu lebih berharga dibanding 100 juta untuk memenuhi kerakusan kita.
Kenapa saya teringat Pak Ali di tengah berita demonstrasi? Ada cerita haru tentangnya. Ketika anak pertamanya mau masuk perguruan tinggi, dia berpesan pada anaknya, “Belajarlah yang baik, sehingga kau berilmu. Jika kau harus ikut demo, berdemolah yang baik. Yang perlu kau ingat, hal-hal yang baik harus diperjuangkan dengan cara yang baik.”
Usut punya usut, pesan mendalam Pak Ali pada anaknya ternyata diperas dari pengalamannya bertemu dengan berbagai pelanggannya: dosen, mahasiswa, tukang becak, staf politisi, penjual buah, dan lainnya, dan lainnya. “Dari cerita-cerita mereka, saya memahami, bagaimana hidup itu harus diperjuangkan.”
Saya membayangkan Pak Ali mencukur langganannya sambil tanya ini-itu; sambil memastikan keberhasilan seseorang karena ketekunan, keuletannya, dan keyakinannya akan jalan yang dipilihnya. Sambil memotong rambut langganannya, Pak Ali mungkin juga belajar membaca yang baik suatu peristiwa dari berbagai sisi; dari berbagai sumber.
*Set Wahedi, nama pena dari Salamet Wahedi, esais dan dosen STKIP PGRI Sumenep
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS