BANYUWANGI – Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (TACBN) melakukan kajian terhadap sejumlah peninggalan cagar budaya di Banyuwangi. Kajian dilakukan dalam rangka penetapan Banyuwangi sebagai cagar budaya nasional.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas menyambut baik kedatangan tim ahli tersebut yang akan mengkaji potensi cagar budaya Banyuwangi. Menurut Anas, seiring berjalannya waktu, banyak kasus cagar budaya yang mulai terpinggirkan bahkan hilang.
“Hal ini, disebabkan karena pembangunan yang kurang memperhatikan nilai-nilai sejarah dan budaya. Maka, dengan hadirnya tim cagar budaya ini, akan membawa manfaat besar terhadap pelestarian cagar budaya yang kami miliki,” kata Anas, Senin.
Anas menyebutkan, untuk melestarikan kebudayan lokal, Banyuwangi telah melakukan berbagai upaya. Salah satunya, memberikan sentuhan kebudayaan lokal pada setiap bangunan, termasuk hotel.
Pihaknya mewajibkan setiap bangunan bisa mendokumentasikan kekhasan lokal Banyuwangi. Setiap bangunan baru, tidak akan diberikan IMB-nya jika dalam arsitekturnya tidak ada unsur kebudayaan lokal.
“Maka, semua hotel di Banyuwangi sekarang sudah mengaplikasikan ornamen lokal seperti arsitektur harus khas lokal, mengaplikasin motif klasik batik di ornamen hotel,” jelasnya.
Tak hanya itu, Banyuwangi juga konsisten melestarikan budaya dan kearifan lokal yang tumbuh dalam masyarakat. Dalam deretan Banyuwangi Festival yang digelar sepanjang tahun, sebagian di antaranya adalah event budaya.
“Banyuwangi punya tradisi kebo-keboan, barong ider bumi, seblang, hingga tari Gandrung yang konsisten kami angkat dalam Festival. Karena bagi kami, Banyuwangi boleh maju dan terus berkembang, tapi budaya Banyuwangi tidak boleh terpinggirkan,” papar Anas.
Sementara itu, Ketua Cagar Budaya Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Soeroso, mengatakan TACBN beranggotakan lima belas ahli dari berbagai bidang ilmu, di antaranya ahli geologi, sejarah, geografi, arsitek, dan hukum.
Tim ini juga gabungan dari perwakilan direktorat purbakala dan sejumlah perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. “Dalam rangka penetapan cagar budaya nasional, kami terus melakukan kajian terhadap situs cagar budaya di Indonesia. Kali ini, kami sengaja melakukannya di Banyuwangi,” ujar Soeroso.
Menurut dia, ada alasan khusus yang membuat mereka tertarik melakukan kajian di daerah ujung timur Pulau Jawa ini.
“Kami lihat Banyuwangi mampu meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya, salah satunya melalui kebudayaan dan sejumlah destinasi wisatanya. Inilah yang membuat kami tergerak datang ke sini,” kata Soeroso.
“Dari situ, kami ingin melihat potensi cagar budayanya, sekaligus mengkaji mana saja yang memilki kemungkinan untuk diangkat menjadi cagar budaya nasional. Sehingga cagar budaya tersebut dapat dimanfaatkan lebih besar lagi untuk peningkatan kesejahteraan warga Banyuwangi,” imbuhnya.
Sebuah kawasan disebut sebagai Cagar Budaya karena memiliki keunikan peninggalan budaya dan sejarahnya. Peninggalan cagar budaya, ada yang bersifat tangible (ragawi) dan intangible (non ragawi). Tangible seperti bangunan, benda, situs. Yang intangible, di antaranya kesenian tradisional, tradisi rakyat.
Selama tiga hari sejak Kamis-Sabtu (29 November-1 Desember), tim telah keliling mengunjungi sejumlah situs cagar budaya yang ada di Bumi Blambangan. Mulai wisata adat Osing di Desa Kemiren Kecamatan Glagah, situs Inggrisan di Kecamatan Banyuwangi, dan Ompak Songo, situs bersejarah kerajaan Blambangan yang terletak di Kecamatan Muncar.
Soeroso lalu menceritakan kesannya saat mengunjungi sejumlah situs di Banyuwangi yang merupakan peninggalan lama.
Saat mengunjungi Inggrisan yang dibangun Belanda pada abad 17, rombongan ini langsung dibuat takjub. Karena bangunannya masih berdiri kokoh meski sudah berumur ratusan tahun. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS