Kamis
10 Juli 2025 | 11 : 34

Suatu Sore di Istana Gebang

PDIP-Jatim-Set-Wahedi-10112024

SEKITAR pukul 13.40 Wib, Jumat (20/6/2025), saya tiba di Istana Gebang dengan perasaan gagu. Kendaraan roda empat mulai berdatangan memenuhi area parkir. Orang-orang bergegas dengan pakaian seragam masing-masing: penata panggung, penari, pengrawit, tukang parkir, awak media, dan para tamu undangan.

Di halaman Istana Gebang, kursi-meja tamu ditata dalam formasi 6 sampai 8 secara melingkar. Patung Bung Karno tampak gagah menatap lurus ke depan. Tepat di depannya, di bawah tiang bendera, sebuah panggung kecil disiapkan untuk pertunjukan. “Gala Senja masih sekitar satu jam lagi. Silakan nikmati Istana Gebang sebelum acara dimulai,” ujar ketua rombongan.

Ia juga menjelaskan, setelah acara Gala Senja, ada kenduri tumpeng. Sebanyak 5000 tumpeng dari masyarakat akan digelar di sepanjang jalan antara Istana Gebang, makam Bung Karno dan tempat Pengajian Akbar.

Saya mengangguk, memberi tanda ‘oke.’ Sejenak saya melepas penat di salah satu warung kopi yang berderet di tepi kiri dari arah pintu masuk. Perjalanan 3 jam lebih dari Surabaya, serasa membetot punggung dan kepala bagian belakang. Saya menyesap udara segar, sebelum larut dalam agenda acara yang sudah terjadwal. Selama dua hari, saya akan terlibat rangkaian acara Selametan Akbar Haul ke-55 Bung Karno, Jumat-Sabtu, 20-21 Juni 2025.

Sambil menikmati kopi, saya mengamati titik-ruang asyik untuk ditelusuri. Di Aula Istana Gebang, segerombolan pemuda/pemudi gladi-bersih tari penyambutan. “Mungkin di sana saya bisa mendapatkan informasi yang cukup untuk masuk ke rumah Istana Gebang ini,” seruku dalam hati. Empat kali ke Blitar, baru kali ini saya singgah di Istana Gebang. Padahal, jarak antara Istana Gebang dan makam Bung Karno sekitar 2 km.

Saya harus masuk ke Istana Gebang.

“Lewat depan, Mas,” seorang petugas di aula, dengan telunjuk dan sorot mata yang tajam mengarahkan saya. Dari petugas aula, saya mendapati info awal: Istana Gebang adalah kompleks rumah masa kecil Bung Karno dan keluarganya di Blitar.

Di depan rumah masa kecil Bung Karno, saya disambut tiga perempuan penjaga rumah: dengan baju kebaya berjilbab. Mereka melempar senyum yang terlatih.

“Boleh masuk?” Saya basa-basi, memastikan kedatangan saya sesuai prosedur dan jadwal yang ditentukan.

“Silakan. Untuk alas kaki dibuka. Silakan ambil tas untuk alas kaki.” Di sebelah kiri pintu masuk beberapa tas digantung di stand hanger.

Menjejak ke Rumah Istana Gebang, saya seperti terlempar ke masa yang begitu lampau, tapi terasa segar dalam ingatan. Foto Bung Karno berukuran besar menyambut dengan tatapan penuh kharisma. Seorang petugas penerima tamu, Helga (37), meminta saya mengisi buku tamu. Para pengunjung Istana Gebang ternyata tidak hanya dari Jawa Timur. Sore itu, tepat di atas nama saya, ada pengunjung dari Pekalongan, seorang ibu. Profesinya penjahit.

Helga juga membantu saya mengambil foto di depan foto Bung Karno yang berukuran besar, yang diapit foto Raden Soekemi dan foto Ida Ayu Nyoman Rai.

“Istana Gebang ini rumah keluarga Bung Karno sewaktu tinggal di Blitar,” Helga memberikan info yang sama seperti petugas aula. “Sekitar tahun 1917, ayah Bung Karno, Raden Soekemi, mengajar di SMA di Kota Blitar. Istana Gebang ini rumah masa kecil Bung Karno.” Ia menjelaskan dengan nada pelan. “Dulu keluarga Bung Karno pindah-pindah. Bapak Bung Karno dari Tulungagung, ibunya dari Bali. Bung Karno juga pernah tinggal di Bali.” Helga begitu fasih untuk menuturkan jejak riwayat keluarga Bung Karno.

Di ruang tengah, saya melihat kursi-meja dua set. Juga ada dua kursi goyang yang dilarang diduduki. Di pojok kiri, ada mesin tik merk Royal. Saya membayangkan, dengan mesin tik itulah Bung Karno menuliskan karya-karyanya. Saya juga berupaya mendengarkan suara tak-tik-tak-tik tuts mesin tik memecah kesunyian malam.

Selain menikmati bayangan Bung Karno menyelesaikan karyanya, saya juga menelisik foto-foto yang bertebaran di dinding rumah. Foto-foto yang mengisahkan perjalanan Bung Karno: bersama kedua orang tuanya, bersama anak-anaknya, bersama istrinya.

Seorang petugas berambut pirang menawari saya foto cepat-jadi. Hanya lima menit, katanya. Saya tersenyum. Apakah masih perlu kita cetak foto? Tanyaku sambil melihat ke sekeliling.

Masuk ke ruang belakang, saya bertemu dengan Pak Agus (50), anak dari perawat kuda Bung Karno. “Sudah ke makam Bung Karno?” tanya Pak Agus ramah.

“Belum, Pak.”

“Biasanya,” ia memberi petunjuk, ”sebelum ke makam Bung Karno, orang mandi dulu di kamar mandi masa kecil Bung Karno atau bisa juga cuci tangan dan muka.” Lalu Pak Agus mengambil kruk ketiaknya, dan mengantarkan saya ke ruang belakang.

Di ruang belakang, saya menemukan suasana masa kecil Bung Karno yang bahagia dan ceria. Sebagai seorang guru, ayah Bung Karno pasti paham bagaimana cara membesarkan dan mendidik anaknya. Sambil melihat Pak Agus duduk di lincak papan, saya membayangkan Raden Soekemi membersihkan tubuh Bung Karno sehabis mandi sambil menuturinya dengan nasihat-nasihat perjuangan hidup. Nasihat-nasihat yang membuat Bung Karno begitu tegas dan tangguh di kemudian hari.

“Sebentar lagi Gala Senja akan dimulai,” suara ketua rombongan berkeriuk di handy talkie.

Saya segera bergegas. Meski begitu singkat, perjalanan di rumah Istana Gebang menyisakan pengalaman emosional. Bunga mawar putih yang ditaruh di kamar tidur dan ruang tengah, menguarkan aroma yang membekap perasaan saya. Saya tidak hanya melintasi rumah Istana Gebang, tapi juga menelisik titik krusial petilasan sejarah bangsa ini.

Sampai di halaman Istana Gebang, saya menyaksikan ratusan tamu undangan sudah memenuhi kursi dan meja yang disediakan. Mereka tampak sumringah menikmati gending Jawa dan Tari Gambyong. Lalu acara dilanjutkan dengan sambutan dari Wali Kota Blitar, Syauqul Muhibbin, dan perwakilan pecinta Bung Karno, Budi ‘Kanang’ Sulistyono, anggota DPR RI.

Beberapa tokoh politik tampak memenuhi kursi baris depan. Sebut saja Ganjar Pranowo, Romy Soekarno, Sri Untari Bisowarno, dan lainnya. Mereka menikmati suasana senja halaman Istana Gebang yang ranum. Musik campur sari yang dibawakan Silvi Kumalasari membuat suasana penuh nostalgia.

Acara Gala Senja usai sebelum adzan Maghrib berkumandang. Sebagian undangan bergegas menikmati suguhan. Sebagian lagi melaksanakan shalat, lalu mempersiapkan diri untuk acara selanjutnya.

Sebelum bergegas dari Istana Gebang, saya menuliskan kalimat yang dilontarkan Pak Kanang dalam sambutannya, “Negara ini tidak akan pernah berdiri kalau tidak berangkat dari masa kecil Bung Karno di Blitar ini.” (*)

BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tag

Baca Juga

Artikel Terkini

KRONIK

Event Ponorogo Rikolo Semono, Upaya Kota Reog Jadi UCCN

PONOROGO – Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko, secara resmi membuka event “Ponorogo Rikolo Semono 2” di Alun-alun ...
KRONIK

KH. Mujtaba dan Wahyudi Temui Kapolres Sumenep, Bahas Ancaman Narkoba di Kangean

SUMENEP – Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kangean, KH. M. Mujtaba, bersama anggota Fraksi PDI ...
LEGISLATIF

Halte TransJatim Kembali Dirusak, Dewanti Tegaskan Pentingnya Perlindungan Fasilitas Publik

SURABAYA – Aksi perusakan halte bus TransJatim kembali terjadi dan memantik keprihatinan mendalam dari kalangan ...
SEMENTARA ITU...

Narada Farm, Kebun Melon yang Membuat Mbak Nia Kepincut

SUMENEP – Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Sumenep, Nia Kurnia Fauzi, melakukan kunjungan ke kebun melon ...
EKSEKUTIF

Warga Gresik Taat Pajak dapat Hadiah Sepeda Motor hingga Umrah

GRESIK – Pemerintah Kabupaten Gresik memberikan apresiasi kepada para wajib pajak kendaraan bermotor dan restoran. ...
LEGISLATIF

Hutan Bojonegoro Dikelola Rakyat Capai 35.000 Hektar, Minim Infrastruktur

BOJONEGORO – Pembangunan infrastruktur di kawasan hutan mutlak diperlukan untuk mengentas kemiskinan warga ...