TRENGGALEK – Tingginya indeks rasio ketimpangan pendapatan kelompok masyarakat (gini ratio) 2014 sebesar 0,42 membuat prihatin anggota Komisi II DPR RI Drs. Sirmadji Tj. M.Pd. “Ini adalah indeks tertinggi sepanjang sejarah bangsa Indonesia. Tentu sangat berbahaya, karena ini mencerminkan tingkat kesenjangan antara kaya dan miskin,” kata Sirmadji, dalam sosialisasi empat pilar di Gedung Koperasi Regu, Desa Nglongsor, Kecamatan Tugu, Kabupaten Trenggalek Sabtu (9/5/2015).
Pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla melalui Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), lanjut Sirmadji, menargetkan indeks ini akan turun menjadi 0,36 dalam lima tahun ke depan. Komitmen itu ditegaskan dengan mencantumkan indikator sukses tidaknya pembangunan dalam APBN .
“Ini pertama kalinya di dalam APBN pasal 32 ayat d dan e muncul indikator sukses dan tidaknya pembangunan. Di situ tercantum penurunan ketimpangan sosial. Dalam target pembangunan, ada empat indikator yang akan dibahas, yaitu gini ratio, tingkat kemiskinan, penyerapan tenaga kerja, dan indeks pembangunan manusia,” terang politisi PDI Perjuangan ini.
Tingginya gini rasio ini menurut Sirmadji mencerminkan bahwa pola pembangunan kita selama dua periode pemerintahan yang lalu memang cukup pesat namun tidak dibarengi dengan pemerataan kesejahteraan. Padahal, cita-cita bangsa ini dibangun bukan untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undanh Dasar 1945 dan Pancasila.
“Bung Karno telah menegaskan, kita ingin membangun negara gotong royong, semua untuk semua. Jangan sampai yang maju hanya kota saja, jangan sampai yang maju hanya Jawa saja. Harus merata. Salah satu perwujudannya adalah di antaranya melalui penyelenggaraan pemerintahan dengan desa sebagai ujung tombak,” papar pria asal Munjungan, Trenggalek ini.
Pembangunan berbasis desa yang diistilahkan “desa mengepung kota” ini dimaksudkan agar desa lebih maju dengan melakukan pembangunan yang direncanakan sendiri sesuai kebutuhan. Dana untuk desa dalam APBN ditambah dan langsung ditransfer ke kabupaten untuk kemudian disalurkan ke desa.
Sirmadji menyebut untuk tahun ini dianggarkan Rp 20 triliun lebih. “Itu masih kurang jauh. Tahun depan harus bisa naik lagi. Setiap desa harus bisa lebih dari Rp 1 miliar,” tegasnya.
Terkait tanah bengkok yang sempat menjadi polemik, menurut Sirmadji, dalam pertemuan panja UU Desa dengan wakil dari Menteri Sekretaris Negara, Utusan Menteri Dalam Negeri, Utusan Menteri Desa, Bapemas, serta Utusan Menteri Agraria telah disepakati tanah bengkok merupakan ganjaran untuk mereka yang bekerja bagi pemerintah desa dan harus dikeluarkan dari kekayaan desa.
“PP 43/2014 yang mengaturnya harus direvisi. Karena sudah disepakati, maka tugas kita kemudian adalah mengawalnya jangan sampai meleset dari kesepakatan,” pungkasnya. (sa)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS