
JAKARTA – Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menegaskan fenomena calon tunggal dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) bukan racun bagi demokrasi.
Sebab, fenomena ramai-ramai partai politik (parpol) memberikan dukungan kepada calon yang dinilai kuat, yang kemudian memunculkan calon tunggal pada pilkada, juga merupakan bagian dari demokrasi.
“Ketika partai lain melihat ada sebuah proses yang berjalan, sektoral yang cukup baik, kemudian tidak mau bersaing memunculkan kadernya, kemudian memberikan dukungan kepada partai yang kuat, ini juga bagian dari demokrasi. Jadi calon tunggal bukan racun bagi demokrasi,” kata Hasto kepada media, Kamis (10/9/2020).
Sejarah kemunculan calon tunggal, lanjutnya, berawal pada Pilkada 2015 saat Surabaya hanya memiliki pasangan calon Tri Rismaharini-Whisnu Bakti Buana.
Saat itu, pasangan ini terancam tidak bisa maju karena tidak ada penantang. Fenomena yang sama saat itu terjadi juga di Kabupaten Blitar.
“Kemudian diproses melalui MK (Mahkamah Konstitusi). MK mengambil keputusan ketika ada calon tunggal, maka kemudian dibuka kotak kosong. Ini ada kontestasi, membuka sebuah ruang demokrasi,” jelas Hasto.
Dia juga menyebut syarat ambang batas pencalonan kepala daerah 20 persen dari kursi DPRD, bukan merupakan pembatasan hak demokrasi.
“Itu jaminan efektivitas pemerintahan. Anda bisa bayangkan kalau seorang kepala daerah hanya punya satu kursi [pendukung di DPRD]. Dia harus mengelola sekian parpol. Bagaimana nanti konsolidasinya?” tandas Hasto. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS