SIDOARJO – Munculnya nama Raymond Tara Wahyudi ST dalam deretan anggota DPRD Sidoarjo periode 2024 – 2029 terpilih, bagi sebagian orang cukup mengejutkan. Tapi, tak banyak yang mengetahui, jalan senyap politik ia lakoni sejak 20 tahun silam.
Tara, sapaan akrabnya, tumbuh besar dari keluarga dengan afliasi partai politik PDI Perjuangan. Ayahnya, Iswahyudi, menjadi salah satu pengurus Partai beberapa dekade belakangan. Sempat pula sebagai wakil rakyat di DPRD Sidoarjo periode 2004 – 2014.
Beberapa tahun lalu, Iswahyudi, diam-diam mendorong anaknya ke kancah perjuangan. Mendidik sang anak untuk memulai jalan politik dari tingkat bawah. Maka, diceburkanlah Tara di kepengurusan Ranting (setingkat desa atau kelurahan).
“Tahun 2004 saya masuk pengurus ranting, menjadi sekretaris,” kata Tara.
Gen Banteng rupanya mengalir di tubuh Tara. Berbagai kesulitan di kepengurusan Ranting tak membuatnya hengkang dari jalur politik. Boleh dikata makin keranjingan. Ia terus merayap di tangga internal Partai.
Beberapa periode kemudian ia direkrut Badan Pemenangan Pemilu DPD PDI Perjuangan Jawa Timur. Beberapa kali bertugas ke luar daerah, terutama kawasan tapal kuda. Selanjutnya dipercaya menjadi Ketua PAC Kecamatan Waru periode 2020-2025.
Hingga setahun lalu, Tara menyiapkan diri dalam kontestasi pemilu legislatif hingga akhirnya terpilih.
Berbagai problematika yang muncul di tengah masyarakat ia catat selama berinteraksi dengan rakyat. Mulai dari peredaran narkoba di kalangan remaja hingga judi online. Termasuk urusan pendidikan dan kesehatan.
“Semoga apa yang menjadi aspirasi masyarakat, nantinya bisa terselesaikan dengan baik,” kata Tara soal tanggungjawab barunya sebagai wakil rakyat hingga 5 tahun ke depan.
Pertahanan Terakhir Pedagang Pracangan
Berdasarkan arsip redaksi pdiperjuangan-jatim.org, sebelum berevolusi menjadi pdiperjuangan-jatim.com, Iswahudi, semasa bertugas di Komisi A DPRD Sidoarjo getol menyoroti maraknya mini market masuk desa.
Regulasi mengatur zonasi super maupun mini market bak macan kertas. Tak sedikit mini market berimpit dengan pasar tradisional. Bahkan merambah desa menjadi ancaman nyata pedagang pracangan (kelontong) kelas rumahan.
Kekuatan modal pracangan bukan bandingan mini market yang sebarannya kasat mata menggurita. Pedagang pracangan pun ngos-ngosan bahkan bertumbangan dalam perburuan rezeki.
Kondisi diperparah pula dengan konsumtif hedon perilaku pembeli seperti rumusan Iswahyudi.
“Punya uang banyak belanja di supermarket, punya uang pas-pasan beli di mini market, nggak punya uang hutang di pracangan (tetangga),” kata Iswahyudi suatu ketika.
Karena itu pula, saat mencalonkan sebagai kepala desa, Iswahyudi teken kontrak dengan warganya. Tidak akan memberikan perizinan kepada mini market di desanya. Kecuali yang sudah ada, Iswahyudi tak bisa berbuat apa-apa.
Alhasil, setelah menjadi Kepala Desa Pepelegi, komitmen itu dilaksanakan.
Desa Pepelegi, desa yang menjadi tempat tinggal Tara, menjadi salah satu lini terakhir penjaga regulasi pengaturan jarak mini market dengan pedagang tradisional atau pracangan. (hd/hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS