
SETAHUN setelah Sukarno dan beberapa temannya mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927, timbul polemik. Gara-garanya, Bung Karno mengusulkan perlunya pakaian seragam bagi anggota partai.
“Cukup dengan baju lengan pendek dan pantalon,” kata Sukarno seperti ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Setelan hem dengan pantalon atau celana panjang se-mata kaki terbilang modern di zaman itu.
Dengan setelan pakaian seperti itu, kata Sukarno, supaya anggota partai kelihatan gagah. “Kita harus
berpakaian yang pantas dan kelihatan sebagai pemimpin.”
Dengan setelan seperti itu pula, tegas Sukarno, “Mari kita tunjukan bahwa kita sama
progresif dengan orang Belanda. Kita harus tegak sama tinggi dengan mereka. Kita harus memakai pakaian
modern.”
Namun usulan Sukarno menuai pro-kontra. “Usulku ini menimbulkan
polemik yang hebat.”
Bersarung Tanpa Sandal
Diceritakan Sukarno, seorang wakil yang setia dari Tegal berdiri dan menyatakan, seragam tersebut tidak sesuai dengan kepribadian nasional.
“Seharusnya kita memakai sarung tanpa sepatu atau sandal. Hendaklah kita kelihatan
seperti orang-orang revolusioner sebagaimana kita seharusnya.”
Pernyataan itu dibantah Sukarno. Soal mengaitkan kebiasaan berpakaian rakyat kala itu dengan sikap revolusioner.
“Aku tidak setuju. Banyak orang yang kaki ayam (telanjang kaki, red), akan tetapi mereka bukan orang yang revolusioner.”
“Banyak orang yang berpangkat tinggi memakai sarung, tapi mereka bekerja dengan sepenuh hati untuk kolonialis.”
“Yang menandakan seseorang itu
revolusioner adalah bakti yang telah ditunaikannya dalam perjuangan.” (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS