Pesantren Sebagai Basis Ekonomi Kerakyatan

Loading

Hingga kini pesantren diyakini sebagai salah satu model pendidikan klasik yang tetap relevan dengan zaman. Usianya yang sudah ratusan tahun ternyata tak membuat pendidikan pesantren ketinggalan. Pesantren selalu mampu beradaptasi dengan laju perkembangan zaman.

Di sampig itu, pesantren terus bertahan menjadi banteng moral bangsa. Di saat lembaga pendidikan modern banyak menciptakan generasi amoral, pesantrenlah yang justru hadir sebagai penyelamat masa depan generasi bangsa. Inilah yang pernah dikatakan Nurcholish Madjid,pesantren adalah lembaga yang terus dinamis, beradaptasi dengan perkembangan zaman, namun tetap memiliki tembok besar sebagai banteng moral bangsa.

Selain dua hal tersebut, pesantren ternyata juga hadir sebagai basis pengembangan ekonomi ummat. Sejak berdirinya ratusan tahun silam, salah satu misi penting yang dibawa oleh dunia pesantren adalah pengembangan ekonomi yang berasas keislaman dan bebasis kerakyatan. Misi ini kemudian diterjemahkan oleh pesantren melalui pendirian koperasi berbasis syariah.

Gerakan koperasi Syariah yang mulanya dimotori dunia pesantren, akhirnya berhasil mengakar di tengah kehiduan umat. Polarisasi sistem keuangan bebas riba itulah yang menjadikan koperasi syariah digandrungi banyak orang, bahkan oleh para praktisi perbakan sekalipun. Tak ayal, sistem koperasi syariah yang digawangi oleh pesantren akhirnya menjadi kiblat perbankan tanah air, banyak sekali bank konvensional yang melirik dan bermaksud melahirkaan bank-bank Syariah. Hari ini bank-bank syariah sebagai anak perusahaan dari bank konvensional sudah bertebaran di mana-mana.

Selain koperasi Syariah, penguatan ekonomi yang dilakukan oleh pesantren adalah melahirkan sejumlah produk lokal yang bersumber dari sumber daya pesantren. Tak sedikit pondok pesantren di Indonesia yang mulai merintis dan memproduksi sejumlah bahan kebutuhan pokok masyarakat yang dikelola secara mandiri oleh pesantren. Kegiatan ini tentu memiliki efek ekonomi yang luar biasa, karena seluruh tenaga yang difungsikan adalah murni masyarakat pesantren, minimal para alumninya.

Kita bisa lihat Pondok Pesantren Sidogiri, misalnya. Sistem tata kelola perekonomian di Pesantren yang terletak di Pasuruan, Jawa Timur tersebut sudah sangat luar biasa. Sudah berkelas Internasional. Aktivitas perkoperasian yang dijalankan oleh pesantren tersebut hari ini sudah menjadi salah satu kiblat sistem perkoperasian tanah air, termasuk sejumlah produk yang dihasilkan oleh lembaga perekonomian yang ada di dalamnya. Dalam konteks ini, Pondok Pesantren Sidogiri sudah berhasil menjadikan pesantren sebagai basis ekonomi keumatan, di mana perputaran uang yang terjadi di dalamnya tidak untuk kepentingan pribadi, namun untuk umat melalui pesantren.

Dari, Oleh, dan Untuk Pesantren

Tahun 2017, Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI), sebuah lembaga di bawah naungan Nahdlatul Ulama yang bertugas di bidang kepesantrenan, merilis kurang-lebih 24 ribu pondok pesantren yang tersebar di seluruh idnonesia. Data itu belum termasuk pesantren yang ada di luar naungan NU. Kaitannya dengan ekonomi pesantren, Data tersebut menunjukkan bahwa pesantren memiliki prospek luar biasa dalam bidang pengembangan perekonomian. Setidaknya, jika hal itu dikembangkan dalam konteks pengembangan jejaring  antarpesantren.

Ilustrasi sederhana yang bisa kita mainkan, jika ribuan pesantren yang ada di Indonesia membentuk jaringan penguatan perekonmian secara masif, maka seluruh produk yang dihasilkan dan dihabiskan oleh pesantren adaah hasil dari sumber daya pesantren itu sendiri, sehingga bisa dipastikan perputaran ekonomi pesantren lebih banyak berkutat di dunia pesantren itu sendiri. Dan hasilnya, jelas lebih besar keuntungannya untuk pengembangan pesantren.

Potensi kemajuan ekonomi pesantren semakin terbuka lebar, apalagi saat ini pesantren sudah dibekali dengan teknologi informasi, Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni, serta sarana pra-sarana yang sudah memadai. Namun demikian, yang lebih subtansi dari potensi pengembangan ekonomi pesantren adalah menguatnya moralitas kaum pesantren yang bisa menjadi pondasi kemajuan ekonomi itu sendiri.

Integrasi moralitas masyarakat pesantren dalam konteks ekonomi belakangan diterjemahkan  dalam beberapa prinsip, antara lain, As-Shidqu (benar atau jujur), Al-Amanah wal Wafabil’ Ahd (amanah atau tepat janji), Al-Adalah (keadlian), At-Taawun (tolong-menolong) dan Istiqomah (konsisten). Jika ini yang menjadi pondasi perjuangan perkenomian, maka tak ada rumus gagal dalam setiap pergerakan ekonomi. Dan inilah yang ternyata sudah dikembangkan di dunia pesantren, sebagai manifestasi dari konsep Mabadi Khoiroh Ummah.

Mengapa harus ada lima prinsisp di atas? Sekali lagi tujuan ekonomi pesantren  bukan untuk kepentingan pribadi atau pun golongan, tapi murni untuk kepentingan umat melaui pengembangan pendidikan pesantren itu sendiri. Itu sebanya prinsip ekonomi pesantren selalu mengacu pada lima prinsip tersebut, sehingga dalam setiap pergerakan perekonomiannya pesantren selalu termaktub jihad keumatan sebagai spirit bagi para sumber daya yang ada di dalamnya. Karena titik kulminasi ekonomi pesantren adalah dari pesantren, oleh pesantren dan untuk pesantren.

Modernisasi Ekonomi Pesantren

Ada kebijakan menarik yang dilakukan Kementerian Agama (Kemenag) Republik Indonesia berkaitan dengan upaya pengembangan ekonomi pesantren. Beberapa waktu yang lalu, Kemenag melakukan dua terobosan penting yang diharapkan bisa berimplikasi terhadap pengembangan ekonomi pesantren. Dorongan secara formal ini tentu perlu ditangkap oleh kalangan pesantren, sehingga ke depan eksistensi ekonomi pesantren semakin baik, bahkan bisa bersaing di kancah global.

Pertama, mengambil inisiatif kerjasama dengan BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dan Kementerian Perindustrian, terutama dalam pengembangan kawasan industri melalui penyiapan tenaga kerja terampil lulusan pondok pesantren, serta singkronisasi kawasan industri dan kawasan religius.

Kedua, bersama Bank Indonesia (BI) dan lembaga-lembaga lainnya mengembangkan kerjasama kemitraan dalam pemberdayaan ekonomi pesantren sekaligus penguatan ekonomi Syariah. Untuk kemitraan ini, Kemenag bersama lembaga mitra telah menyiapkan template inkubasi bisnis untuk pesantren, pelatihan usaha, roadmap virtual market produk pesantren, dan festifal produk pesantren.

Dua kebijakan strategis di atas tentu menjadi angin segar bagi dunia pesantren, terutama pada poin kedua yang relatif signifikan dalam mendorong pengembangan ekonomi pesantren. Ke depan pesantren tinggal menangkap sejumlah peluang agar pengembangan ekonomi umat di pesantren bisa semakin maju. Selebihnya, SDM lulusan pesantren yang akan keluar sudah siap pakai dan juga mampu berkompetisi dalam segala lini kehidupan.

Kalau kita telaah lebih mendalam, kebijakan pemerintah terkait dengan pengembangan ekonomi pesantren di atas, sebenarnya ada upaya modernisasi ekonomi pesantren yang diusung dalam paket kebijakan tersebut. Setidaknya, modernisasi dalam konteks pemasaran, pengolahan, dan termasuk branding. Tujuannya tentu tak ada lain, kecuali dalam rangka meningkatkan mutu dan kualitas ekonomi pesantren, terutama produk-produk yang dihasilkan. Dengan demikian, eksistensi ekonomi pesantren bisa terus bergerak maju dan bersaing dengan produk ekonomi modern lainnya.

La Nyyala Mattaliti saat masih menjadi Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur pernah penegaskan, bahwa produk Made in Pesantren harus menjadi brand yang mampu memenangkan persaingan bisnis Nasional. Apalagi penduduk Indonesia mayoritas muslim yang juga banyak lulusan pesantren. Ini menjadi momentum berikutnya yang harus ditangkap oleh pesantren.

Kita berharap ke depan bisnis Indonesia akan mampu dikuasai oleh produk Made in Pesantren seiring dengan bertambahnya populasi masyarakat pesantren yang ada di Indonesia, agar pesantren sebagai basis ekonomi kerakyatan semakin menguat, karena di sinilah harapan ekonomi bangsa dipertaruhkan. Meminjam bahasanya Irfan L. Syahindi (Lulusan University College London), bahwa penguatan ekonomi pesantren akan mengakselerasi penguatan-penguatan kualitas ekonomi rakyat. Wallahu A’lam Bissowab (*)