Jumat
14 November 2025 | 3 : 58

Menemukan Tuhan di Tanah, Air dan Udara

PDIP-Jatim Matroni 05102025

SELAMA berabad-abad, teologi Islam arus utama sering dipahami sebagai teologi yang memposisikan Tuhan secara transenden—bersemayam di langit, jauh dari jangkauan indera manusia. Ayat-ayat seperti “Dia bersemayam di atas ‘Arsy” (QS. Thaha: 5) dibaca secara literal sebagai penegasan jarak ontologis antara Pencipta dan ciptaan.

Dalam paradigma ini, Tuhan dipahami sebagai entitas yang mengawasi dari atas, sementara bumi, dengan segala materialitasnya, dipandang hanya sebagai panggung ujian bagi manusia. Namun, pembacaan seperti itu bukanlah satu-satunya cara memahami hubungan Tuhan dan dunia.

Dekonstruksi teologi Islam yang menegaskan kehadiran Tuhan di tanah, air dan udara bukanlah pengingkaran terhadap transendensi-Nya, melainkan perluasan perspektif: menempatkan immanensi Tuhan sebagai bagian integral dari iman. Dalam kerangka ini, Tuhan tidak hanya “di langit” tetapi juga “di bumi” (QS. Al-An’am: 3), hadir dalam setiap unsur yang menopang kehidupan.

Al-Qur’an sendiri berulang kali menegaskan bahwa tanda-tanda Tuhan (ayatullah) tersebar di alam semesta. Dalam QS. Fussilat: 53 disebutkan, “Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri…” Tanah, air dan udara bukan sekadar benda mati, melainkan ayat yang hidup, bukti konkret dari kehadiran Tuhan yang terus bekerja memelihara kehidupan.

Jika kita hanya memusatkan perhatian pada Tuhan di “atas”, kita berisiko menjadikan iman sebagai urusan kosmik yang terpisah dari realitas ekologis. Padahal, Nabi Muhammad sendiri mengajarkan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah: menanam pohon, menghemat air, bahkan melarang pemborosan meski dalam wudhu di sungai yang mengalir. Ini adalah bentuk pengakuan bahwa unsur-unsur bumi memiliki dimensi sakral.

Dekonstruksi di sini berarti membongkar asumsi yang memisahkan secara tegas antara ranah ilahi dan dunia material. Dalam tradisi tasawuf, konsep wahdat al-wujud (kesatuan wujud) Ibn ‘Arabi menegaskan bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari wujud Tuhan. Tanah yang kita injak, air yang kita minum, udara yang kita hirup—semuanya adalah pancaran sifat-sifat-Nya.

Pendekatan ini menantang teologi yang terlalu vertikal, yang hanya mengarahkan kesadaran spiritual ke atas. Dengan menempatkan Tuhan di tanah, air dan udara, kita menggeser fokus menjadi horizontal dan menyeluruh, melihat Tuhan dalam relasi ekologis dan sosial, bukan hanya dalam ritual.

Ketika kita meyakini Tuhan hadir dalam tanah, maka merusak tanah sama dengan mengkhianati kehadiran-Nya. Keyakinan bahwa air adalah media kehadiran Tuhan akan membuat kita menganggap pencemaran sungai atau laut sebagai tindakan profan. Memahami udara sebagai “nafas Tuhan” (sebagaimana simbolisme dalam banyak tradisi) akan membuat kita lebih peka terhadap polusi dan perubahan iklim.

Ini bukan sekadar retorika hijau. Islam, melalui maqashid al-shariah (tujuan-tujuan syariah), menempatkan hifz al-bi’ah (perlindungan lingkungan) sebagai turunan dari hifz al-nafs (perlindungan jiwa). Tanpa tanah subur, air bersih, dan udara sehat, nyawa manusia dan seluruh makhluk akan terancam.

Teologi Islam yang terlalu fokus pada “langit” sering kali gagal mengintegrasikan kesadaran ekologis. Alam dipandang hanya sebagai sumber daya, bukan entitas yang memiliki nilai intrinsik. Hal ini bisa melahirkan sikap eksploitatif, di mana kerusakan lingkungan dianggap tidak terkait langsung dengan ketaatan kepada Tuhan.

Dekonstruksi ini tidak bermaksud menafikan dimensi transendensi, tetapi ingin mengembalikan keseimbangan, Tuhan tetap Maha Tinggi, namun juga Maha Dekat (aqrab min habl al-warid, QS. Qaf: 16). Kedekatan ini bukan hanya dalam ruang batin manusia, tetapi juga dalam kehadiran-Nya di seluruh ekosistem.

Kehadiran Nabi bukan saat kita membaca shalawat dan hadir di Madinah, pun Tuhan bukan saat kita ibdah haji dan umroh berkali-kali, tetapi manifestasi kehadiran tampak nyata dari aktivitas manusia dalam keseharian. Apakah wajar, jika tetangga kita mau hutang dan masih miskin, sementara kita berkali-kali ke Mekkah dan Madinah?

Dalam konteks Madura, konsep teologi bumi memiliki bentuk yang khas. Masyarakat Madura tradisional memandang tanah bukan hanya sebagai aset ekonomi, tetapi sebagai warisan leluhur yang mengandung nilai sakral. Air sumur dan udara laut diperlakukan dengan penghormatan karena diyakini sebagai sumber kehidupan yang diberkahi, itu dulu, akan tetapi sekarang sudah mengalami perubahan.

Hari ini sumber kehidupan adalah uang, mobil bahkan sosok orang yang ber-uang dan ber-mobil akan sangat terhomat di mata masyarakat.

Seharusnya ritual-ritual agraris dan maritim sering kali mengandung doa-doa yang memohon restu Tuhan sekaligus mengakui keberadaan-Nya dalam unsur-unsur alam. Ini menunjukkan bahwa pemahaman Tuhan yang hadir di tanah, air, dan udara bukanlah gagasan baru, melainkan warisan kosmologi lokal yang dapat diperkaya dengan perspektif teologi Islam.

Dekonstruksi teologi Islam dalam arah ini bukanlah pembaruan radikal yang bertentangan dengan Al-Qur’an, melainkan pembacaan ulang yang menegaskan integrasi iman dan ekologi. Menemukan Tuhan di tanah, air, dan udara berarti mengakui bahwa iman bukan hanya urusan hati atau langit, tetapi juga tanah tempat kita berpijak, air yang kita teguk, dan udara yang kita hirup.

Dengan demikian, setiap langkah di bumi, setiap tetes air yang kita hemat, dan setiap udara bersih yang kita jaga, menjadi bentuk dzikir yang menghubungkan kita langsung dengan Sang Pencipta. Inilah bentuk teologi yang relevan untuk menghadapi krisis ekologis global, termasuk krisis ekologi yang terjadi di Madura, teologi yang tidak hanya menatap ke atas, tetapi juga menunduk, menyelam, dan menghirup—menemukan Tuhan di mana pun kehidupan berdenyut.

*Matroni Muserang, Dosen Universitas PGRI Sumenep (UPI Sumenep)

Tag

Baca Juga

Artikel Terkini

SEMENTARA ITU...

Hasil Olah Sampah Landfill Mining Jadi PAD, Bupati Sanusi Tinjau TPA Paras Poncokusumo

MALANG – Bupati Malang Drs. HM Sanusi, MM meninjau Proses Metode Pengolahan Sampah Landfill Mining yang sedang ...
SEMENTARA ITU...

Pemkot Surabaya Terima Aset Waduk Depan Unesa Senilai Rp 176 Miliar

SURABAYA – Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menerima penyerahan aset berupa waduk seluas 21.832 meter persegi dari ...
KRONIK

Catat, Akhir Pekan Ini Banyuwangi Gelar Balap Sepeda BMX Internasional

BANYUWANGI – Banyuwangi terus mengukuhkan diri sebagai kabupaten balap sepeda di Indonesia. Akhir pekan ini, ...
EKSEKUTIF

Di Depan Tim DPN Anugerah Dwija Praja Nugraha 2025, Eri Cahyadi Paparkan Inovasi Pendidikan

SURABAYA – Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menerima kunjungan tim verifikasi Anugerah Dwija Praja Nugraha (DPN) 2025 ...
LEGISLATIF

Kekuatan Fiskal Terbatas, Pemkab Trenggalek Kurangi Nilai Utang ke PT SMI Jadi Rp 70 M

TRENGGALEK – Rencana pengajuan pinjaman Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek ke PT Sarana Multi Infrastruktur ...
LEGISLATIF

Widarto Minta Anggaran UHC Tetap Jadi Prioritas

JEMBER – Wakil Ketua DPRD Kabupaten Jember Widarto, S.S minta universal health coverage (UHC) tetap menjadi ...