Selasa
26 November 2024 | 5 : 52

Kotak Kosong

Mahbub Junaedi

Oleh Mahbub Junaedi*

APA yang segera terlintas dalam benak kita ketika mendengar kata “kosong”? Apa yang mencuat dari insting kita saat melihat realitas “kosong”, misalnya rumah atau tanah kosong?

Tentu, akan ada banyak jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Pasti, akan banyak pula argumentasi atau teori yang akan segera dijadikan sandaran dari setiap jawaban-jawabannya.

Satu dari sekian banyak jawaban dan argumen, yang menurut saya diterima secara universal, adalah menggunakan sandaran sejarah asal muasal alam semesta.

Pada mulanya, dunia, bagian dari alam semesta ini diciptakan Tuhan dalam kondisi kosong. Kemudian, Dia mengisinya dengan beragam mahluk hidup, yang nampak maupun yang gaib. Hingga akhirnya, Tuhan menurunkan pasangan Adam dan Hawa untuk membikin kehidupan dunia ini menjadi dinamis.

Seiring berjalannya waktu, sifat dan karakter manusia anak-cucu Adam dan Hawa juga terus bertumbuh. Salah satu sifat itu adalah tidak tahan terhadap situasi dan kondisi kosong atau hidup dalam kekosongan.

Jadi, tak usah kaget kalau selalu saja timbul ide atawa gagasan ketika kita menjumpai kondisi kosong atau kekosongan. Misalnya, saat melihat dompet atau kantong baju dan celana kosong, lalu mencuat ide untuk melakukan apa saja yang menghasilkan uang. Kita nggak perlu heran ketika menatap sebuah ruangan atau lahan kosong, tetiba muncul bayangan aneka furnitur atau denah bangunan di pelupuk mata.

Dalam ilmu hitung atau matematika, kita juga mengenal angka nol (0). Tetapi coba tanya dari sekian juta murid sekolah atau calon sarjana, apakah mereka suka angka nol? Saya yakin sebagian besar tidak. Apalagi bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan, apapun tingkatannya, yang sudah terjun bebas ke dalam realitas hidup, saya haqqul yakin tidak suka angka nol. Angka nol dalam matematika akan disukai jika ditambah angka lain di depannya.

“Ya, mana ada orang suka duit nol rupiah? ‘kan nggak bisa buat belanja?” Kata Lek Dul, pemilik sebuah kedai kopi.

“Bener iku Lek. Nek sing ngopi mrene, terus dompete kosong kabeh, opo Sampeyan gelem bangkrut? He-he,” Mat Bakoh menimpali seraya terbahak.

Dalam realitas hidup, diksi “kosong” pun memiliki banyak makna; “tidak berisi”, “tidak bermakna”, “tidak berpenghuni”, “hampa”, dan “tidak berharga”.

Eh, tapi dalam film Siluman Kera Sakti dari Tiongkok, ada ungkapan terkenal dari Biksu Tong, “Kosong adalah isi. Isi adalah kosong”. Ungkapan filosofis yang berakar dari Taoisme itu ditafsirkan sebagai kondisi kosong (wu), yang melambangkan keadaan tanpa bentuk atau substansi, sedangkan isi (yu) merujuk pada keberadaan atau substansi yang konkret. Wu dan Yu selalu berhubungan atau berkaitan erat, sehingga hidup menjadi selalu dinamis.

Dalam kehidupan nyata, konon, Bung Karno termasuk yang tidak suka angka nol. Proklamator kita itu penggemar berat angka 5. Lihat saja Pancasila yang dicetuskannya. Dia juga punya argumen kuat untuk menyukai angka 5; panca indera manusia yang lima, rukun Islam yang lima dan juga Pandawa lima.

Meskipun ada penggemar angka nol, kondisi kosong dan kekosongan, di tengah kehidupan kosong atau kekosongan selalu mendapat perlawanan sengit sebagian besar penghuni bumi. Situasi kantong kosong, otak kosong, jiwa kosong, adalah contoh konkret situasi dan kondisi yang harus terus dilawan dan dienyahkan.

Tapi, ya namanya juga hidup, selalu saja ada pro dan kontra. Seperti munculnya wacana dan realitas “kotak kosong” dalam hajatan politik akhir-akhir ini. Kekosongan yang selalu dihindari, ditangkis dan dilawan oleh mayoritas “makhluk politik” bernama manusia, kini hadir (dihadirkan) untuk dipeluk, dibelai mesra dan dinikmati dengan riang gembira.

“Gak bahaya ta?”, tanya Dul Kretek. Dia pun segera meluncurkan rangkaian pertanyaan layaknya aktivis mahasiswa atawa LSM yang kritis. Kalau kantong, dompet, otak dan jiwa yang kosong saja kita lawan, kenapa kotak kosong tidak? Bukankah bumbung kosong dalam tradisi leluhur kita, terjadi dengan syarat ketat dan kondisi tertentu, secara alamiah tanpa rekayasa? Misalnya karena sosok calon pemimpin yang muncul hanya satu-satunya yang telah teruji dan terbukti baik dan amanah bagi masyarakat.

Apabila kotak kosong kita anggap berisi, jangan-jangan otak kita yang kosong, atau kita sedang mengalami kekosongan jiwa. Dan apabila terus dipaksakan begini, apa tak mungkin dalam pilkada serentak akan terjadi “kesurupan serentak”, secara nasional, dan itu berbahaya bagi masa depan negara dan bangsa ini.

“Bayangno, opo gak ngeri,” ujar Dul Kretek seraya nenggak kopi hitam tanpa gula hingga nyaris habis ampasnya. (*)

*Penulis adalah Owner ‘Nong Cafe’

BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tag

Baca Juga

Artikel Terkini

KRONIK

Hari Guru Nasional, Bupati Fauzi Apresiasi Dua Pendidik Raih Prestasi Tingkat Nasional

SUMENEP – Pada peringatan Hari Guru Nasional 2024, Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo memberi apresoasi atas ...
KABAR CABANG

Untuk Risma-Gus Hans dan Eri-Armuji, PDIP Surabaya Gelar Doa Bersama dan Santuni Anak Yatim Piatu

SURABAYA – Memasuki hari kedua masa tenang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2024, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) ...
LEGISLATIF

DPRD Surabaya Bentuk Pansus Raperda Pengembangan Ekraf

SURABAYA – Sidang paripurna ketiga DPRD Surabaya pada Senin (25/11/2024) memutuskan pembentukan panitia khusus ...
EKSEKUTIF

Usai Cuti Kampanye, Eri Pastikan Pengerjaan Proyek Strategis di Kota Surabaya

SURABAYA – Setelah dua bulan cuti kampanye Pilkada 2024, Eri Cahyadi kembali ke Balai Kota Surabaya melanjutkan ...
LEGISLATIF

Jaga Kepercayaan Rakyat dan Pastikan Pilkada Berlangsung Demokratis, Pulung Harap APH Netral

SURABAYA – Anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Pulung Agustanto menyoroti pentingnya netralitas ...
KABAR CABANG

Menangkan Pilgub Jatim, DPC Kota Probolinggo Perkuat Saksi

PROBOLINGGO – Memenangkan Risma-Gus Hans di Pilkada Jawa Timur menjadi sebuah harga mati bagi kader PDI Perjuangan ...