Dipindahkan kota ke kota, kain merah putih sempat dipisahkan, hingga dijahit ulang.
BELUM seumur jagung sejak Negara Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan hingga NICA (Netherlands Indies Civil Administration) bersama pasukan sekutu mendarat di Jakarta pada 29 September 1945.
Kedatangan Belanda untuk merebut kembali wilayah jajahan yang sempat ditinggalkan. Invasi besar-besaran dilakukan di berbagai kota. Di Jakarta, NICA memberlakukan jam malam. Menculik para pemuda, menggeledah rumah-rumah warga dengan berbagai dalih.
Bahkan Presiden Sukarno jadi target pembunuhan. Mobil kepresidenan ditabrak dengan truk tentara NICA. Peti-peti berisi makanan dan minuman kaleng dijatuhkan dari atas pesawat hanya beberapa meter dari teras rumahnya di Pegangsaan seperti dilansir dari buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, ditulis Cindy Adams.
Hingga pada 3 Januari 1946, Presiden Sukarno memberitahu para Menteri, pengawal dan pembantunya untuk bersiap memindahkan tempat pemerintahan.
“Kedudukan pemerintahan harus dipindahkan ke daerah yang bebas dari gangguan Belanda sehingga kita bisa mendirikan benteng republik,” kata Sukarno kepada para menterinya.
Esok harinya, Presiden Sukarno dan rombongan masuk stasiun kereta api secara diam-diam. Naik dalam satu gerbong yang telah disamarkan. Bendera Pusaka Merah Putih yang semula dikibarkan saat proklamasi kemerdekaan, turut dilipat dan dibawa dalam koper pribadi Bung Karno menuju Yogyakarta.
Berita terkait: Sejarah Bendera Merah Putih, Sejak Era Kerajaan Hingga Kini
Yogyakarta
Saat pemerintahan RI di kota ini, sejumlah perjanjian gencatan senjata dilakukan. Hingga pada 19 Desember 1948, sejumlah pesawat P-51 milik pasukan Belanda menjatuhkan bom, menembakkan roket, dan menghujani jalanan Yogyakarta dengan peluru. Istana terkepung pasukan NICA.
Presiden Sukarno memerintahkan pembakaran dokumen-dokumen penting saat itu. Menyisakan naskah pidato Pancasila dan undang-undang dasar. Langkah terakhir, Bung Karno memanggil Husein Mutahar.
“Apa yang terjadi padaku, aku sendiri tidak tahu. Aku memerintahkanmu untuk menjaga bendera (Merah Putih) kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh,” kata Bung Karno.
Mutahar memejamkan matanya sembari berdoa. Ia mencabuti jahitan dan memisahkan kain merah dan putih. Kain merah ia taruh dalam tas pakaian, kain putih disembunyikan di dalam bajunya.
Sementara bom terus berjatuhan. Presiden Sukarno dan sejumlah tokoh bangsa ditangkap. Beberapa hari kemudian, mereka diasingkan ke Berastagi Sumatra Utara. Lalu dipindah Parapat Sumatra Utara dan berakhir di Pulau Bangka.
Sementara sejumlah staf kepresidenan termasuk Mutahar, seperti dikutip dari berbagai referensi, ditahan di Semarang. Dalam penahanan, Mutahar berhasil kabur. Ia berlayar ke Jakarta bermaksud menyerahkan bendera pusaka yang telah ia jahit kembali, kepada Sukarno.
Hingga medio Juni 1949, Mutahar pun menitipkan bendera kepada delegasi yang akan menemui Sukarno di pengasingan Pulau Bangka.
Baca juga: Jejak Perjuangan Bung Karno di Pengasingan Pulau Bangka (6-Habis)
Pada bagian lain, terjadi perjanjian Rum-Royen antara Indonesia dengan Belanda. Kedua pihak meyetujui konferensi meja bundar di Den Haag untuk membicarakan pengakuan kedaulatan RI.
Pada 28 Desember 1949 Bung Karno kembali dari Bangka. Beberapa jam di Yogyakarta, kemudian pada siang hari tanggal 29 Desember, pesawat kepresidenan mendarat di lapangan terbang Kemayoran, Jakarta.
“Yang pertama kali keluar adalah pengawal kehormatan membawa Sang Merah Putih, bendera keramat yang telah dijahit kambali oleh Mutahar mengikuti lubang jarum yang asli,” kata Bung Karno.
Jutaan manusia membanjiri jalan di Jakarta menyambut kedatangan Sukarno. “Hidup Bung Karno, Merdeka! (hs)
Keterangan foto: Bendera Merah Putih berkibar di atap Pesanggrahan Menumbing, Muntok, Kabupaten Bangka Barat, Minggu (2/5/2016). Di bukit ini, puluhan tahun silam, para tokoh bangsa diasingkan pihak Belanda. /dok.pdiperjuangan-jatim.com
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS