SURABAYA – Kasus kekerasan pada pekerja rumah tangga (PRT) masih kerap terjadi di Indonesia. Berdasarkan catatan JALA PRT hingga 1 Desember 2022, ada 639 kasus kekerasan terhadap PRT.
Koordinator JALA PRT, Lita Anggraini, mengatakan, kekerasan pada PRT adalah fenomena perbudakan yang nyata dan terjadi. PRT dianggap miliknya sebagai budak dan miskin, terdesak secara ekonomi dalam relasi kuasa sehingga membuat para pemberi kerja bisa berbuat apa saja kepada PRT.
Hal itu disampaikan dalam Konferensi Pers: Catatan Akhir Tahun PRT, Surat untuk Presiden dan Ketua DPR, yang diselenggarakan Koalisi Masyarakat Sipil untuk RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, Senin (12/12/2022).
“Orang bekerja di ranah privat, kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam. KDRT di rumah-rumah. Jadi, kita apalagi terhadap PRT relasi kuasanya jelas, nasibnya ditentukan oleh pemberi kerja,” ujar Lita.
Pihaknya terus mendorong agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR RI Puan Maharani segera mengesahkan UU PRT yang sudah diperjuangkan hampir 19 tahun, dan belum membuahkan hasil.
“Apakah negara akan menghentikan atau membiarkan RUU yang 19 tahun ini?” ujar Lita dengan nada tanya.
“Kita kembalikan kepada presiden dan pimpinan DPR, akankah membiarkan korban terus berjatuhan atau kita memberikan perlindungan untuk mencegah adanya korban-korban berikutnya dengan mengesahkan UU PRT?” sambungnya.
Koordinator Koalisi Sipil Undang Undang Perlindungan PRT, Eva Kusuma Sundari, menambahkan, pihaknya bersurat kepada Presiden Jokowi agar memberikan hadiah pada PRT untuk dukungan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) kepada publik pada 22 Desember 2022, bertepatan dengan Hari Ibu.
“Saya telah berkirim surat dan minta Presiden Jokowi untuk memberikan statemen di Hari Ibu, dan ingin mempertemukan Jokowi dengan para ibu PRT yang menjadi korban, agar pemerintah tahu bahwa realitas penindasan dan penyiksaan ini terus tumbuh di Indonesia,” ujarnya.
Tak hanya itu, para PRT juga akan melakukan aksi Rabuan yang diawali pada Rabu (21/12/2022) di DPR dan Istana Presiden.
“Para PRT akan duduk di DPR atau Istana untuk melihat apa yang dilakukan oleh para wakil rakyat ini, mereka akan membawa keprihatinan, kedukaan yang selama ini terjadi pada PRT,” ujar politisi senior dari PDI Perjuangan ini.
Ia mengatakan, adanya UU PRT tak hanya mencegah dan melindungi, namun juga membantu proses hukum apabila ada PRT yang mengalami kekerasan.
Sementara itu, salah satu penyintas berinisial A yang sempat mengalami kekerasan oleh majikannya selama 9 tahun, juga menyampaikan harapannya.
“Harapan saya mohon kepada bapak Presiden dan ibu Puan sebagai Ketua DPR untuk segera mengesahkan UU PRT agar tidak ada lagi PRT yang bernasib seperti saya. Cukup saya saja yang mengalami penyiksaan seperti ini,” tuturnya.
Hal serupa juga disampaikan PRT berinisial T yang jadi korban kekerasan fisik maupun psikis oleh mantan anggota DPR di apartemen kawasan Kebon Kacang, Jakarta Pusat pada 2015 silam.
“Terutama untuk Pak Jokowi dan Bu Puan agar PRT tidak dipandang sebelah mata, dipandang rendah. Semoga UU PRT segera disahkan agar tidak ada lagi korban seperti saya yang sampai sekarang traumanya belum bisa hilang,” pungkas T.
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS