Oleh Ficky Septalinda*
SETIAP tanggal 21 April, kita memperingati Hari Kartini. Namun lebih dari sekadar mengenang sosok perempuan Jawa yang menulis surat menggugah kepada sahabatnya di Belanda, Hari Kartini adalah ajakan untuk membaca ulang suara perempuan yang merindukan kemerdekaan berpikir, pendidikan yang adil, dan relasi sosial yang setara.
Di tengah derasnya arus zaman, kita tidak cukup hanya menyebut nama Kartini. Kita harus menjelmakan semangatnya dalam tindakan nyata.
Saya masih ingat betul, ketika tahun 2009, saya pertama kali dipercaya duduk di kursi DPRD Banyuwangi, saya adalah perempuan muda dengan idealisme sederhana: bahwa perempuan tidak boleh hanya menjadi pelengkap, tapi harus menjadi penentu. Kini, lebih dari satu dekade berlalu, dunia telah berubah.
Kita berpindah dari ruang-ruang sidang fisik ke percakapan digital. Era ini membawa tantangan dan peluang baru bagi perempuan. Tapi satu hal tak berubah: perjuangan perempuan untuk didengar, dipercaya dan dihormati tetap menjadi perjuangan yang berat.
Kartini dulu melawan sistem feodal dan patriarki yang membatasi hak perempuan atas pendidikan dan kebebasan berpikir. Hari ini, kita menghadapi bentuk penindasan yang berbeda lebih halus, tetapi tak kalah menyesakkan. Dunia digital adalah ruang yang ambigu. Ia bisa menjadi alat pemberdayaan, namun juga arena baru bagi kekerasan simbolik, tekanan sosial, dan krisis identitas.
Perempuan muda dicekoki standar kecantikan semu. Ibu-ibu muda dihantui algoritma yang memicu kecemasan. Anak-anak perempuan tumbuh dalam suasana sosial yang rapuh dan serba membandingkan.
Berdasarkan data BKKBN tahun 2024, hampir 60 persen remaja usia sekolah sudah tidak perawan dan angka kehamilan anak meningkat drastis. Ini bukan semata soal moral, tapi tanda adanya kegagalan sistemik minimnya literasi seksual, lemahnya kontrol sosial, dan ketidakhadiran ruang aman untuk berdiskusi. Tradisi gotong royong digantikan budaya individualisme. Dunia serba cepat ini membuat banyak perempuan merasa kehilangan arah, sunyi dalam keramaian digital.
Namun, kita tak bisa menyerah. Kita perlu kembali pada pesan mendalam Kartini: bahwa perempuan adalah pendidik utama peradaban. Literasi yang dimaksud bukan sekadar baca-tulis, tetapi baca-diri, baca-realitas, dan baca-masa depan.
Literasi kehidupan ini penting agar perempuan mampu memilah informasi, menyaring pengaruh buruk, dan menjadi penentu dalam arus perubahan. Kita butuh kebijaksanaan digital, bukan hanya kecakapan teknis.
Dari perspektif teori pembangunan berbasis gender, seperti gender and development (GAD), peran perempuan tidak boleh hanya dipandang dari fungsinya dalam rumah tangga. Perempuan harus dilihat sebagai subjek aktif dalam pembangunan yang memiliki hak setara dalam mengakses pendidikan, ekonomi, kekuasaan, dan teknologi.
Caroline Moser (1993) menegaskan, peran perempuan harus ditempatkan dalam seluruh struktur pembangunan, bukan hanya di pinggiran. Sementara itu, pemikiran feminis kontemporer, seperti Judith Butler, juga memperlihatkan bahwa ketimpangan gender tidak hanya bersumber dari sistem hukum atau ekonomi, tetapi juga dari bahasa dan simbol yang membentuk persepsi sosial kita sehari-hari. Oleh sebab itu, perubahan tidak bisa sekadar administratif, tetapi juga harus menyentuh ranah budaya dan makna.
Sebagai legislator dan mahasiswa doktoral, saya tidak hanya menyuarakan isu perempuan dalam ruang sidang, tapi juga memperjuangkannya dalam program nyata. Saya mendorong anggaran responsif gender, advokasi untuk perempuan kepala keluarga, serta pelatihan ekonomi digital di desa-desa.
Namun saya menyadari, perubahan yang substansial tidak akan terjadi hanya dari atas. Perubahan itu harus tumbuh dari transformasi kesadaran, baik pada level individu maupun kolektif. Perempuan tidak boleh hanya ditempatkan sebagai penjaga nilai domestik, tetapi juga harus diberi ruang seluas-luasnya untuk menjawab tantangan global.
Dunia sedang menghadapi krisis iklim, ketimpangan ekonomi, konflik sosial, dan kemerosotan demokrasi. Dalam semua itu, suara dan kepemimpinan perempuan sangat dibutuhkan.
Seperti yang diyakini oleh Vandana Shiva dalam teori ecofeminism, perempuan tidak hanya menjadi korban dalam krisis lingkungan dan sosial, tetapi juga aktor kunci dalam menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Pengalaman perempuan dalam mengelola kehidupan sehari-hari memberi mereka perspektif etis yang sangat dibutuhkan dalam tata kelola publik saat ini.
Saya ingin menyampaikan kepada ibu-ibu muda, kalian bukan hanya penjaga rumah tangga, tapi pendidik masa depan yang belum kita kenal bentuknya. Kepada para remaja perempuan, jangan ukur dirimu dari jumlah likes atau followers, tapi dari keberanianmu untuk menjadi otentik dan berpikir kritis.
Dan kepada seluruh perempuan Indonesia, mari kita warisi semangat Kartini dengan melampaui batas simbolik. Kita tidak hanya hadir di ruang-ruang seremonial, tapi juga di medan-medan perubahan global yang nyata—di lembaga dunia, di laboratorium, di forum iklim, di panggung politik, dan di ruang-ruang kepemimpinan strategis.
Kartini adalah simbol keberanian untuk menjadi berbeda. Ia berani mempertanyakan norma, mengusulkan perubahan, dan berdialog dengan dunia. Maka, mari kita lanjutkan estafet itu. Jangan hanya jadi simbol dalam upacara, tapi jadilah subjek dalam sejarah.
*Sekertaris DPC PDI Perjuangan Kabupaten Banyuwangi dan Anggota Komisi I DPRD Banyuwangi
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS