Senin
10 Februari 2025 | 8 : 40

Generasi Stroberi dan Sumbu Pendek Memori

PDIP-Jatim-Abrari-09022025

Oleh Abrari Elzael*

SENIN, 13 Januari 2025 lalu, seorang guru SMA Putra Bangsa, Arjasa, Sumenep, Muhamad Noeruddin (50), bak pepatah sudah jatuh tertimpa tangga pula. Seorang peserta didik, Ahmad Qurtubi (19) mengancamnya dengan sebilah pedang. Bahkan, lebih dari itu, siswa dari sekolah lain ini membakar motor sang guru.

Api menyala, motor pinjaman dari mantan kepala desa setempat, HM. Sulthan, hangus terbakar. Kasus ini berlanjut ke ranah hukum dan sedang disidik Polres Sumenep. Ini peristiwa yang tidak biasa, untuk menyebutnya tidak lazim untuk kasus seseorang ”hanya” tersinggung.

Pelaku menilai dirinya yang tak ramah kepada orang tua merasakan dirinya sedang dipertontonkan Noeruddin dalam sebuah upacara ketika yang bersangkutan menjadi pembina. Padahal, amanat guru hanya berisi dua hal. Pertama, peserta didik harus belajar yang rajin agar memiliki kecerdasan inteligensia. Kedua, peserta didik dalam diri yang secerdas apa pun, tetap wajib menaruh rasa hormat kepada orang tua.

Mengaji peristiwa ini, tidak saja dilihat dari aspek hukum. Sebab, bila hanya dikaji dari aspek hukum, kejadian ini berwarna hitam atau putih. Pelaku berdasarkan pelanggaran hukum, dinilai melanggar Pasal 2 ayat 1 UU Darurat No.12/1951 tentang larangan membawa senjata tajam. Selain itu, penyidik bisa menerapkan Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 335 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), perbuatan tidak menyenangkan, dengan ancaman maksimal pidana 10 tahun penjara.

Sekali lagi, ini bukan soal hukum an sich. Ini juga terkait dengan pola asuh terhadap anak di tengah keluarga, dan anak dalam pergaulan sehari-hari. Sebagai anak pulau, patut diyakini bahwa pelaku pasti anak yang berani. Anak-anak pulau sebagian besar ditempa oleh kerasnya karang dan dahsyatnya gelombang. Anak-anak pulau didoktrin untuk tidak takut mati dibanding takut kelaparan. Masalahnya, berani terhadap apa, kepada siapa, inilah fatsunnya.

Perilaku mengancam guru dengan sebilah pedang, bahkan membakar harta berharga, tidak muncul begitu saja. Kecuali, apabila seseorang merasa sakit hati. Tetapi, sesakit apa hingga membawa pedang dan membakar motor? Orang gila saja masih ”berpikir” untuk melakukan tindakan naif serupa itu.

Maka, pasti ada seseuatu yang lain di dalam diri anak yang masih berusia 19 tahun itu. Menghadirkan setan sebagai sosok penguasa dalam dirinya, tentu alasan ini lantaran kepepet ideologis. Lalu sebab apa?

Sebagaimana lazimnya anak, umumnya, ia berperilaku memerlukan model. Ada yang ia tiru dalam adegan antagonis yang diperankan. Psikologi meragukan perilaku anak yang tanpa model. Lalu, siapa model itu?

Kemungkinan pertama, model yang telah berhasil menginspirasi pelaku tak lain orang-orang yang ada di sekelilingnya. Kedua, jika yang dijadikan model bukan para pihak di sekitarnya, barangkali ada model lain yang disaksikannya melalui medsos serupa film atau apa pun medianya. Ketiga, tidak menutup kemungkinan adanya kemungkinan lain seperti hilangnya akal sehat sebab psikotropika.

Karena itu, penanganan pelaku kejahatan yang melibatkan anak tidak mudah karena bukan soal efek jera saja melalui pengadilan atau pendekatan yuridis. Jika soal yuridis yang dijadikan alat untuk memukul, maka para pihak terjebak kepada salah satu kata bijak; jika di rumah hanya punya palu sebagai satu-satunya alat, maka siapa pun dalam koridor ini, akan menganggap yang lain sebagai paku. Tentu, ini hanya menyelesaikan satu item saja dari persoalan yang kompleks.

Kawula muda sering diidentifikasi dengan nama generasi stroberi, generasi yang terlihat segar tetapi sebenarnya mudah rapuh. Kerapuhan remaja ini, antara lain, disebabkan oleh, pertama, pengaruh medsos. Data menunjukkan, hampir semua kawula muda melek medsos. Intensitas remaja dalam kaitan ini justru mengalahkan intensitas remaja-keluarga (orang tua). Kawula muda merasa ingin menjadi bagian dari sesuatu yang dilihatnya di medsos yang tidak disadari itu bagian dari artifisial.

Kedua, konten kekerasan di media. Kekerasan yang dilihatnya berkali-kali bahkan berhari-hari, menjauhkan dirinya dari apa yang disebut hati-hati. Kawula muda cenderung nekat, malas berpikir, dan instan. Ia seolah memiliki cara sendiri untuk menyelesaikan masalahnya dengan meniadakan akal sehat.

Ketiga, bullying atau cyber bullying saat remaja merasakan dirinya sebagai sosok yang berbalas dendam untuk sesuatu yang dianggapnya menghina atau menghambat derapnya.

Keempat, tekanan sosial. Sebagai kawula muda yang dinisbatkan sebagai generasi stroberi dan menganggap dirinya sebagai kaum yang termarginalisasi oleh keadaan. Kelima, penyalahgunaan alkohol atau obat terlarang. Sumbu pendek dalam pikirannya, menyebabkan kawula muda skeptis dan mencari kebanggaan dengan caranya yang abstrak dan irasionalitas.

Keenam, kecanduan judi online yang dianggap menjawab keinginannya, kerja singkat dan hasil padat. Padahal, mimpi ini adalah candu yang pada akhirnya menggergaji kehidupan di masa depannya. Ketujuh, gersangnya spiritualitas hari-hari yang tentu saja melahirkan nestapa manusia kontemporer dan hal ini terbukti sebagaimana juga disampaikan sejarawan Salim Said; di negeri ini, Tuhan saja tidak ditakuti.

Kasus-kasus kejahatan atau kekerasan remaja terhadap sesama, orang lain, bahkan terhadap orang tuanya sendiri, belakangan ramai dan terjadi di sejumlah daerah. Di Ngawi, Jawa Timur, untuk sekadar menyebut contoh, terdapat remaja yang membunuh pasangannya dengan cara memutilasi dan jasad yang tercabik itu dimasukkan ke dalam sebuah koper. Di Lebak Bulus, Jakarta, terdapat anak membunuh ayah dan neneknya. Di Surabaya, remaja membunuh pacarnya di dalam sebuah hotel.

Tentu, masih banyak contoh yang melibatkan remaja akibat hilangnya kasih dan sayang di dalam dirinya karena banyak faktor sebagaimana disebutkan.

Sebuah Ikhtiar

Mengamati perilaku remaja yang bergerak ke luar rel, tidak melulu diserahkan kepada guru. Sebab, guru memiliki waktu terbatas untuk melakukan pendidikan karakter tentang bagaimana seharusnya anak kepada dirinya, orang tua, orang lain, dan lingkungannya.

Tetapi, para pihak bertanggung jawab pada lingkungan keluarga masing-masing. Ini, lantaran keluarga merupakan sekolah pertama bagi anak. Misalnya, keluarga yang bermasalah di rumah, berpotensi bagi anak untuk bermasalah begitu keluar dari lingkungan keluarga yang bermasalah.

Dalam konteks pendidikan, apa yang dilakukan para pendidik di Jepang layak diadaptasi. Di Jepang, siswa TK dididik (bukan diajarkan) untuk berproses menjadi manusia yang terdidik. Keterdidikan ini kemudian menjadi habbit (kebiasaan) dan rutinitas hari-hari.

Selain itu, guru, masyarakat, lingkungan, dan orang tua menjadi satu tim untuk kehendak yang sama. Pendidikan di TK (Jepang) tidak untuk membuat anak cerdas tetapi mendidik anak supaya terdidik-beradab.

Ketika anak berada di usia SD, siswa tidak dijejali berbagai mata pelajaran yang seolah-olah dengan model pembelajaran ini bisa mencerdaskan dan mencerahkan. Sementara di Jepang, anak dididik untuk berkepribadian, berkebiasaan hidup yang baik (beradab) serta pelajaran tambahan berupa musik dan menggambar. Baru pada jenjang SMP, siswa dididik bagaimana ber-Jepang, ber-IPA, IPS, matematika, dan Pendidikan Bahasa Asing (PBA)

Di negeri plus enam dua, beban pembelajaran siswa sudah terjejali sejak awal berupa calistung (membaca, menulis, dan berhitung). Ketika anak ini sudah besar, kecerdasan yang mereka rasakan sebagai sesuatu yang dimiliki, dinilai kalah bersaing di bursa dan peluang. Kekalahan mereka lantaran tidak diberi peluang akses mengingat jalan dianggap hanya tersedia bagi anak pengusaha dan putra penguasa atau orang dalam.

Istilah orang dalam ini yang melekat pada remaja dengan menganggap dirinya bukan apa-apa, bukan siapa-siapa karena bukan anak pengusaha, bukan pula putra penguasa.

Bila potret remaja saat ini teksturnya seperti yang diberitakan sejumlah media yang seperti itu adanya, maka akan seperti itu juga adanya kelak di negeri plus enam dua ini. Karena itu, perubahan perilaku tidak bisa hanya dituntutkan kepada kaum muda yang diviatif, tetapi justru lebih penting kepada orang tua yang mendidik putra-putrinya dengan cara yang tidak baik, tetapi diseolahkan baik-baik saja. Padahal model pembelajaran orang tua terhadap anak-anaknya ”yang dipaksakan” untuk menjadi ”sesuatu” itu, justru menenggelamkan rasa percaya diri dan menyebabkan anak tidak tegak berdiri.

Dalam ketidaktegaran berdiri itu dan di tengah kekhawatiran orang tua pengusaha-penguasa terhadap masa depan anak-anaknya, maka sesungguhnya, para orang tua dalam spesies itu, telah memperangkapkan dirinya ke dalam sebuah teori katak rebus!

Berjibakunya para orang tua yang hegemoni-kolusi-kronian secara massif, sungguh-sungguh menenggelamkan bangsa masa depan, setidaknya menjadikan bangsa ini berkembang biak dalam asbak. Itulah sebabnya, tugas para pendidik dan orang tua tidak hanya mendidik anak bangsa, tetapi juga berkewajiban mencerdaskan kehidupan kepada yang mengaku ”bapak” di bangsa ini. ()

*Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jatim

BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tag

Baca Juga

Artikel Terkini

KRONIK

Bupati Fauzi Sebut Pers Berperan Penting Mengawal Ketahanan Pangan

SUMENEP – Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo, menegaskan peran penting pers dalam mengawal pembangunan daerah. ...
EKSEKUTIF

Genjot Pembangunan Infrastruktur, Pemkab Trenggalek Siapkan 80 Milia

SURABAYA – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Trenggalek mengalokasikan dana 80 milyar untuk genjot pembangunan ...
KABAR CABANG

Di Desa Ngentrong, DPC Tulungagung Lakukan Penghijauan dengan Budidaya Tanaman Produktif

TULUNGAGUNG – Plt Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan Kabupaten Tulungagung, Erma Susanti, mengajak ...
KABAR CABANG

PAC Kanigoro Gelar Pesta Rakyat 3 Hari, Fatatoh: Warga Senang dan Terhibur

BLITAR – Pengurus Anak Cabang (PAC) PDI Perjuangan Kecamatan Kanigoro menggelar beragam rangkaian kegiatan ...
KABAR CABANG

DPC Tulungagung Tanam Pohon di Bukit Lemparan, Harap Tutupan Lahannya Bertambah

TULUNGAGUNG – Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI Perjuangan Kabupaten Tulungagung menggelar kegiatan penanaman pohon ...
KRONIK

Suyatno Ajak Insan Pers Ikut Mengawal Program Nasional Penguatan dan Swasembada Pangan

MAGETAN – Wakil Ketua DPRD Magetan dari PDI Perjuangan menghadiri puncak acara peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ...