Buku menjadi barang penting dalam kehidupan Soekarno. Ada di kamar tidur, toilet, ruang penjara, hingga di tempat pengasingan.
BERBAGAI catatan sejarah menyebutkan, Bung Karno gemar membaca ketika indekos di rumah HOS Tjokroaminoto di Peneleh, Surabaya. Saat itu Bung Karno tengah menempuh pendidikan sekolah menengah di Hoogere Burger School (HBS). Pada usia tersebut, buku bacaannya terbilang berat. Seputar pemikiran tokoh-tokoh besar dunia.
Kebiasaan membaca buku berlanjut saat Bung Karno terjun dalam dunia pergerakan mengusahakaan persatuan dan kemerdekaan Indonesia. Bahkan saat menjalani pemenjaraan karena aktivitasnya itu, kegemarannya membaca buku masih dilakukan.
Saat ditahan di Penjara Sukamiskin Bandung, Bung Karno juga mendapat kiriman buku Geschiedenis van het Moderne Imperialisme, dari temannya. Buku karya JS Bartstra tersebut berbahasa Belanda. Menceritakan tentang sejarah Hindia Belanda secara kronologi yang dibuat dalam lima jilid buku.
Pun ketika menjalani masa pengasingan, Bung Karno masih lekat dengan buku. Baik saat diasingkan di Ende, Flores; Berastagi dan Parapat, Sumatra Utara; Bengkulu; hingga di Muntok, Pulau Bangka.
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jambi, pada 2014-2015 melakukan konservasi atau pemeliharaan buku-buku yang pernah dibaca Soekarno di rumah pengasingan Bengkulu. Berbagai sumber menyebutkan, ada 333 judul buku yang di baca Bung Karno di rumah pengasingan Bengkulu.
Demikian halnya saat Bung Karno diasingkan di Muntok, Pulau Bangka pada 1949. Pdiperjuangan-jatim.com, pada 2 Mei 2016 berkesempatan mewawancara RA Indrawati, saksi hidup yang pernah berinteraksi dengan Bung Karno.
Baca juga: Jejak Perjuangan Bung Karno di Pengasingan Pulau Bangka (4)
RA Indrawati yang mendapatkan tugas menyiapkan makanan untuk Bung Karno, menyaksikan tumpukan dokumen dan kertas di meja kamar sang Pemimpin Besar Revolusi Indonesia. “Tapi saya tidak berani melihat (membaca) isinya,” kata dia.
Kegemaran Bung Karno akan buku juga berlanjut saat ia menjadi presiden. Melansir Historia.id, Menteri Agama Syaifudin Zuhri menyaksikan buku-buku Bung Karno memenuhi kamar tidurnya dan hanya menyisakan sedikit tempat untuk tidur.
Cerita serupa juga disampaikan Putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri. Bahka di toilet, ada rak buku dua susun untuk menempatkan buku. Pada bagian atas rak, berisi buku-buku yang sudah dibaca Bung Karno. Sementara di bagian bawah, berisi buku yang akan dibaca.
Pada akhir kepemimpinannya, Bung Karno meninggalkan ribuan buku yang tersebar di Istana Merdeka dan Istana Bogor. “Beliau mengatakan, biarkan saja di situ (buku-bukunya),” kata Megawati.
Bung Karno sendiri dalam berbagai acara di sejumlah kampus mengingatkan pentingnya buku. Seperti ketika menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia pada 2 Februari 1963.
“Saya masuk di dalam buku-buku, saya membaca buku banyak sekali, malahan saya berkata, “in the world of the mind, I met the great man. Di dalam alam khayal, di dalam alam pemikiran itu, saya berjumpa dengan orang-orang besar, kataku.”
“Saya berjumpa dengan Karl Marx, saya berjumpa dengan Friederich Engel, saya berjumpa dengan Kautsky, saya berjumpa dengan Mahatma Gandhi, saya berjumpa dengan Thomas Jefferson, saya berjumpa dengan Franklin Delano Roosevelt, saya berjumpa dengan Gladstone, saya berjumpa dengan Poincare, saya berjumpa dengan dengan Talleyrand, dan pemimpin-pemimpin dunia yang lain, orang-orang besar.”
Namun, pada kesempatan berbeda, Bung Karno berpesan, kegemaran membaca buku akan membawa manfaat saat pengetahuan yang didapat menjadi praktik dalam kehidupan.
“Benar, saya telah banyak sekali membaca buku-buku. Tetapi sebagai tadi saya katakan, pembawaanku tidak puas dengan ilmu ansich. Bagi saya, ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidup manusia, atau prakteknya bangsa, atau praktek hidupnya dunia kemanusiaan.”. (hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS