DALAM 1,5 tahun ini, jika tidak ada kegiatan penting ke luar negeri, hampir setiap minggu Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko Widodo berkunjung ke daerah.
Presiden selalu memiliki dua agenda utama setiap ke daerah, mengecek perkembangan proyek infrastruktur dan membagikan secara simbolis kartu “sakti” bantuan sosial untuk rakyat prasejahtera sekaligus menyapa rakyat.
“Biaya logistik kita mahal sekali. Kalau proyek infrastruktur tidak dikerjakan siang-malam, kita bisa ketinggalan dalam kompetisi global. Proyek Trans-Sumatera sudah enam kali saya cek supaya bisa selesai lebih cepat. Kalau saya enam kali cek ke lapangan, saya yakin, menteri pasti 12 kali, dirjen pasti 24 kali, begitu seterusnya sampai ke tingkat pemerintah daerah,” ujar Presiden Jokowi sebelum meresmikan perluasan Bandara Juwata di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, Rabu (23/3).
Bagi Presiden, frekuensi kunjungan lapangan sangat penting agar kontraktor merasa diawasi sehingga tidak berani menurunkan kualitas pekerjaan.
Bahkan, Presiden juga dapat langsung memberi jalan keluar jika ada proyek yang menghadapi kendala, seperti proyek Jalan Tol Samarinda-Balikpapan, Kalimantan Timur, sepanjang 99,02 kilometer senilai Rp 13 triliun.
Proyek tol yang dibangun sejak tahun 2010 sempat mangkrak terganjal perizinan karena melintasi dua kawasan konservasi dan asrama TNI.
Proyek ini baru dikerjakan kembali atas perintah Presiden Jokowi, November 2015, yang memerintahkan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menerbitkan izin dan Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo terkait tukar guling asrama TNI.
Cukup masuk akal kalau Presiden memberi perhatian penuh pada proyek ini karena merupakan infrastruktur vital bagi perekonomian di luar Pulau Jawa.
Pembangunan infrastruktur di luar Pulau Jawa akan meningkatkan akses ekonomi antarpulau sekaligus menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah.
Sampai saat ini, Pulau Jawa menjadi pusat industri sekaligus pasar. Pembangunan jalan tol dan jaringan kereta api di luar Jawa, terutama Sumatera, tentu akan memberi dampak positif bagi perekonomian nasional.
Beban Pulau Jawa akan semakin berkurang karena investor bisa beralih ke kawasan industri baru di Sumatera.
Selain itu, ekonomi Sumatera juga akan semakin meningkat di tengah tekanan jatuhnya harga komoditas yang menjadi andalan sebagian besar penduduk Sumatera.
Sumatera adalah basis produksi karet mentah dan minyak kelapa sawit mentah. Industri hilir yang didukung infrastruktur akan membuat sektor riil Sumatera melaju kencang.
Presiden juga memberi perhatian penuh pada infrastruktur pelabuhan dan bandara untuk meningkatkan akses transportasi terjadwal antarpulau di kawasan Indonesia timur.
Tujuan Presiden Jokowi hanya satu, membuat orang Papua dan Maluku bisa berkunjung ke Aceh atau sebaliknya dengan mudah lewat tol laut agar mereka lebih mencintai Indonesia. Apalagi, tol laut adalah janji kampanye Jokowi-Kalla yang sangat populer.
Dengan semangat yang sama, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga aktif menjaga relasi dengan investor, baik domestik dan luar negeri.
Dalam beberapa kesempatan, Kalla menyempatkan diri untuk berbicara secara serius dengan pengusaha dan investor.
Saat menghadiri Forum Boao untuk Asia di Hainan, Republik Rakyat Tiongkok, akhir Maret lalu, Wapres Kalla juga menyempatkan diri bertemu para pengusaha dan eksekutif puncak perusahaan yang ingin berinvestasi di Indonesia.
Kalla tidak hanya memperkuat relasi dengan investor, tetapi juga mendengar langsung masukan dan kendala yang dihadapi investor untuk segera dicarikan solusinya.
Salah satu investor menuturkan, mereka sudah membeli lahan untuk membangun pabrik pengolahan mineral tambang di Sulawesi. Namun, lahan tersebut belum siap digunakan sebagai kawasan industri.
“Keluhan-keluhan investor itu menjadi masukan sekaligus pelajaran bagi kita semua,” kata Kalla.
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya menuturkan, gaya Jokowi-Kalla mempertegas karakter pemerintah yang sangat fokus pada eksekusi lapangan.
Pembagian kerja antara Jokowi dan Kalla, kata Yunarto, sebetulnya merupakan terjemahan dari gaya kedua orang itu yang hampir mirip.
“Mereka berdua pada dasarnya memiliki latar belakang dan karakter kepemimpinan yang hampir mirip. Mereka adalah pengusaha, eksekutor, dan terbuka dengan iklim investasi,” kata Yunarto.
Gaya manajerial Jokowi, kata Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali, menunjukkan model kepemimpinan langsung mengatasi persoalan yang muncul di hadapan.
Saat ini, kita memang membutuhkan pemimpin yang konsekuen memacu pembangunan nasional untuk meningkatkan daya saing bangsa agar tidak tertinggal dalam kompetisi global. (A Handoko/Hamzirwan Hamid)
Sumber: kompas
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS