JAKARTA — Anggota Komisi 7 DPR RI, Novita Hardini, mengkritik arah pembangunan pariwisata dan agribisnis di Indonesia yang dianggap mengabaikan keragaman hayati dan keadilan sosial.
“Pariwisata kita akhir-akhir ini wajahnya menjadi homogen, semua berlomba dengan restoran dan hotel bintang 5 di kawasan wisata. Tapi budaya dan biodiversity kita lupa untuk dijadikan momentum penguatan,” sebut Novita dalam keterangannya, Jumat (31/10/2025).
Lebih lanjut, legislator perempuan satu-satunya dari dapil 7 Jawa Timur itu mengatakan bahwa dalam setiap praktik pembangunan harus adil. “Kita tidak bisa melakukan pembabatan dan alih fungsi hutan yang jelas-jelas menjadi habitat hewan dengan dalih perkebunan, tambang atau alasan apapun,” ujarnya.
Dia mencontohkan dengan beberapa kasus. Misalnya, di Sumatera pembukaan hutan gambut untuk perkebunan kelapa sawit dan bubur kertas telah menyebabkan hilangnya habitat kritis bagi spesies yang sangat terancam punah.
Seperti gajah, harimau, dan orangutan Sumatera, Kalimantan perluasan perkebunan kelapa sawit menjadi ancaman serius bagi kelangsungan hidup orangutan kalimantan, yang populasinya terus menurun karena hilangnya habitat hingga kasus terbaru adanya ribuan hektare hutan di Bengkulu yang adalah ‘Rumah’ Gajah di Bengkulu hilang akibat dijadikan lahan sawit.
“Jika tren ini terus berlangsung, dan terus menerus dibiarkan oleh pemerintah maka cita-cita Indonesia sebagai negara mega biodiversity dan destinasi ekowisata kelas dunia akan terkikis oleh industri ekstraktif dan pembangunan yang tidak mempertimbangkan lingkungan. Darimana dunia internasional akan percaya dengan eko tourism kita?” tutur Novita.
Tak sampai di situ, dia juga mengatakan bahwa jika pembabatan hutan akan mengakibatkan perubahan iklim dan pemanasan global sebab pohon-pohon yang ditebang merupakan sumber oksigen.
 
Politisi PDI Perjuangan itu mengatakan jika pariwisata berbasis alam dan keanekaragaman hayati menjadi faktor penting dalam daya saing destinasi wisata Indonesia. Namun dia melihat realitas di lapangan justru bergerak hanya ke arah hotel dan restoran mewah yang menekan ekosistem asli.
Politisi asal Trenggalek itupun menyerukan agar pemerintah dan lembaga terkait segera melakukan moratorium pengalihan lahan hutan ke perkebunan besar tanpa kajian lingkungan yang memadai.
Menurutnya, jika proteksi serius terhadap kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi sebagai bagian dari strategi pariwisata ekologi.
Model pembangunan inklusif yang tidak mengusir satwa atau mengabaikan masyarakat adat demi investasi jangka pendek.
“Masih banyak masyarakat kita yang masih menggantungkan hidup serta memiliki mata pencaharian yang bergantung pada hutan yang tentunya akan berdampak pada kehidupan ekonomi dan sosial mereka,” jelasnya.
Jika terus mereplikasi model pembangunan yang industri sentris, imbuhnya, negeri ini akan kehilangan alam dan budaya kita. Bukan hanya gajah dan orangutan yang terancam seperti kasus yang terjadi di Bengkulu, tapi masa depan pariwisata negeri ini.
“Pengembangan pariwisata dan agribisnis harus berjalan seiring dengan pelestarian lingkungan dan keadilan sosial. Indonesia butuh investasi tetapi investasi yang menghargai alam, budaya, dan manusia,” tutupnya. (red)
 
                         
         
         
         
             
             
             
                     
                     
                    