Rabu
04 Desember 2024 | 3 : 06

Bangsa yang Menghormati Kebinekaan

pdip-jatim-malam-solidaritas-matinya-keadilan

Airlangga Pribadi Kusman

Di tengah embusan angin sejuk menyentuh badan, langkah saya terhenti dan pikiran saya tertegun saat berjalan melewati Lincoln Memorial. Sejenak pandangan mata menghadap ke arah Washington Monument jelang musim dingin akhir tahun lalu.

Saya membayangkan sebuah peristiwa tepat di monumen bersejarah itu pada Rabu, 28 Agustus 1963. Pada saat itu tegak berdiri pejuang hak-hak sipil, seorang pendeta kulit hitam bersahaja bernama Martin Luther King Jr. Di hadapan lautan massa, ia menyampaikan sebuah orasi menggetarkan, yang kemudian menjadi kisah epik negeri Amerika, berjudul I Have a Dream.

Salah satu kalimat menggetarkan dari pidato tersebut berbunyi, ”I have a dream that my four little children one day live in a nation where they will not be judged by their color of their skin but by the content of their character”.

Ingatan saya akan memori yang membuat bulu kuduk saya berdiri sekelebat muncul seiring keprihatinan kondisi politik yang tengah dihadapi negeri kita saat ini. Sebenarnya kita tidak kalah dengan Amerika.

Ketika Indonesia masih berupa cita-cita sejak tahun 1912, Tiga Serangkai—EFE Douwes Dekker, dr Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Ki Hadjar Dewantara—menegakkan cita-cita republik yang mendalam bahwa Indonesia adalah untuk mereka yang bersedia dan ingin tinggal di dalamnya tanpa diskriminasi.

Pada banyak momen sejarah, cita-cita mulia ini banyak mengalami hambatan. Saat ini, awan gelap tantangan itu muncul di beberapa kasus pilkada serentak 2017 yang diberi bumbu suara-suara kebencian kultural berbasis ras, kelompok, dan agama.

Yang mengkhawatirkan dalam perkembangan aktual, politisasi identitas bukan mengambil bentuk ekspresi politik perjuangan identitas untuk mendapatkan pengakuan dari yang lain (politics of recognition).

Apa yang tengah berlangsung tidak pula tampil sebagai ekspresi politik keagamaan untuk menegakkan nilai-nilai keadaban demokrasi dan persamaan hak (civil religion).

Yang tengah kita saksikan pada ujungnya adalah komodifikasi atas kebencian berbalut identitas agama dan golongan untuk kepentingan perebutan kekuasaan dan kemakmuran.

Komodifikasi identitas

Indonesia tentu saja bukanlah perkecualian dalam arus politik global. Corak sosial yang tengah bergerak di tingkat global memengaruhi kecenderungan yang tengah berlangsung di Indonesia. Sebaliknya, dinamika pertarungan sosial di Indonesia menyumbangkan nuansa bagi mosaik perkembangan politik global.

Ketika dunia tengah menghadapi tantangan pasang naik politik anti-imigran dan pengentalan identitas yang memabrikasi jargon keaslian sebagai efek dari realitas ketimpangan sosial, Indonesia tidak steril dari kecenderungan global di atas.

Di Indonesia, pengentalan pemanfaatan identitas kultural adalah kombinasi dari pabrikasi atas isu keaslian yang membenturkan antara pribumi dan non-pribumi maupun antagonisme agama adalah buah dari kecemasan akibat krisis sosial; desakan logika kepentingan oligarki elite untuk merebut kekuasaan dan mendistribusikan kemakmuran di kalangan aliansi mereka; dan perkembangan industri konsultan elektoral yang turut serta mengorganisasi politik sentimen antagonisme kultural untuk memenangkan klien mereka.

Tentu ini semua adalah cermin wajah demokrasi kita ketika nilai-nilai republik dan demokrasi belum menumbuh menjadi habituasi maupun basis sosial dari kehidupan politik kita.

Ironisnya, semakin jauh kita terbawa oleh permainan politik bernuansa kebencian kultural, semakin jauh pula jalan kita untuk pulang ke tujuan utama negeri ini dibangun. Jalan pulang itu terletak pada prinsip bineka tunggal ika, yang sejak awal ditanamkan oleh para pendiri republik. Sebuah prinsip yang membutuhkan lebih dari retorika untuk hidup bersama.

Prinsip yang menekankan bahwa dalam kebersamaan, kebinekaan mensyaratkan penghormatan atas keragaman dan kesetaraan hak sebagai warga dalam dimensi sipil-politik, ekonomi-sosial, dan budaya.

Peradaban dan toleransi

Banyak contoh dalam sejarah politik global, baik riwayat negeri-negeri adikuasa maupun negara-negara berkembang, yang memperlihatkan bahwa hadirnya jangkar sosial bersama dan tumbuh ataupun redupnya nilai-nilai keberagaman dan kesetaraan menjadi kunci bagi jatuh dan bangunnya suatu negeri.

Fawaz A Gerges dalam ISIS: A History (2016) menjelaskan bahwa tumbuh berkembangnya organisasi teror ISIS di Irak dan Suriah tidak dapat dilepaskan dari absennya identitas sosial yang inklusif yang dapat menaungi kebinekaan di dalamnya.

Sementara Amy Chua (2008) dalam Day of Empire menjelaskan, dalam riwayat panjang peradaban dunia, toleransi sebagai strategi peradaban menjadi kunci naik-turunnya peradaban negara-negara besar.

Ambisi Hitler membawa Jerman menjadi negeri yang besar gagal, salah satunya karena kebijakan purifikasi rasial dan intoleransinya telah membuat negeri itu kehilangan human capital berbagai orang cerdas, seperti Albert Einstein, Hannah Arendt, Theodore von Karman, Eugene Wigner, pergi ke Amerika Serikat. Sebaliknya, Amerika Serikat melalui strategi kebijakan inklusifnya berhasil menampung dan memanfaatkan kalangan pengungsi intelektual bagi kepentingan negerinya untuk menjadi negara adidaya.

Penghormatan atas kebinekaan di suatu negeri dengan kesadaran merawatnya adalah energi hidup sebuah bangsa. Sebab, dengan penghormatan atas keberagaman sosial, bangsa kita memiliki perekat sosial yang membuat tiap-tiap warga yang ada di dalamnya masih berkehendak untuk tetap menjadi satu sebagai bagian dari keindonesiaan kita. Sementara kesetaraan dari seluruh warga Indonesia juga harus dirawat dan dijamin dalam kehidupan bernegara.

Dengan kesetaraan sosial, setiap warga dapat tetap menambatkan harapan akan masa depannya untuk bekerja membangun komunikasi sebagai sesama manusia yang sederajat dan terhormat, di mana itu semua adalah mimpi, bukan saja mimpi Martin Luther King Jr di Amerika Serikat, tetapi juga Soekarno, Hatta, para orangtua kita, ataupun kita semua di hati sanubari yang terdalam.

 

Airlangga Pribadi Kusman, Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga; Koordinator The Initiative Community (Komunitas Literasi Sosial) Surabaya

 

Sumber: Kompas

BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Artikel Terkini

LEGISLATIF

Puan Lantik Tim Pengawas Intelijen DPR, Ini Tugasnya

JAKARTA – Ketua DPR RI Puan Maharani melantik Tim Pengawas Intelijen yang dibentuk DPR. Tim ini merupakan ...
LEGISLATIF

Novita Hardini Dorong Solusi Terobosan untuk Standarisasi Produk UMKM

JAKARTA – Anggota Komisi VII DPR RI Novita Hardini mengapresiasi upaya pemerintah dalam mengatasi tantangan ...
PEMILU

Yes – Dirham Menang Quick Count, Husen: Hasil Kolaborasi Kader dan Rakyat Lamongan

LAMONGAN – Pasangan Yuhronur Efendi dan Dirham Akbar Aksara (Yes-Dirham) dipastikan memenangkan Pilkada Lamongan ...
LEGISLATIF

Bersama Anggota Komisi C, Legislator Banteng Jember Ini Hadang Truk Bermuatan Lebih

JEMBER – Anggota fraksi PDI Perjuangan Edy Cahyo Purnomo bersama anggota Komisi C DPRD Kabupaten Jember menghadang ...
KABAR CABANG

Surabaya Tetap Kandang Banteng, Adi: Terima Kasih Sudah Mendukung Risma-Gus Hans dan ErJi

SURABAYA – Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya Adi Sutarwijono mengatakan, pasangan Cagub-Cawagub Jawa Timur ...
LEGISLATIF

Belanja APBD Lamongan 2025 Capai Rp 3,27 T, Fraksi Minta Pemkab Serius Cegah Pelajar Putus Sekolah

LAMONGAN – Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten ...