JAKARTA – Anggota Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Arteria Dahlan berpendapat, pelaku vaksin palsu layak dihukum mati. Sebab, perilaku tersebut dinilai Arteria sebagai perilaku biadab, hanya karena alasan komersial, bisa mengalahkan nilai kemanusiaan.
Menurutnya, pelaku vaksin palsu tidak pas dikenakan sanksi hukuman biasa karena perbuatan mereka sangat luar biasa. Yakni menghancurkan sumber daya manusia penerus masa depan bangsa.
“Tidak cukup hukuman 20 tahun, tapi hukuman mati,” tandas Ateria di Jakarta, Senin (4/7/2016).
Legislator DPR asal dapil 6 Jawa Timur ini menyebut sejumlah alasan pelaku vaksin palsu pantas dihukum mati. Pertama, vaksin palsu jelas merusak sumber daya manusia Indonesia.
Dia menyebut, sulit membangun manusia Indonesia seutuhnya kalau jiwa dan raganya bermasalah, di mana kesehatan kekebalan tubuh menjadi prasyarat utama.
“Masalah ini tidak sederhana dengan hanya menyatakan ini pelanggaran terhadap UU Kesehatan, UU Perlindungan Konsumen dan UU Pencucian Uang. Ini serious and extraordinary crime. Investasi negara terhadap rakyatnya di bidang pendidikan dan lainnya akan gagal dengan sendirinya jika anak-anak bangsa rentan penyakit,” jelasnya.
Oleh karena itu, tambah Arteria, hukum mati merupakan hukuman setimpal bagi pelaku vaksi palsu. Menurutnya, penegak hukum tidak perlu terpaku dengan hukum positif yang ada.
“Penegak hukum harus melakukan penafsiran meluas (extensive interpretation) sehingga efek jera-nya tidak hanya bagi pelaku, melainkan menjadi bagian dari rekayasa sosial dan pembelajaran bagi seluruh masyarakat agar ke depan tidak terjadi lagi,” ujar dia.
Kedua, lanjut Arteria, kasus ini sudah menimbulkan keresahan di masyarakat, yang mampu mendistrust pemerintah dalam konteks “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Dia mempertanyakan ke mana negara selama ini sehingga peredaran vaksin palsu sudah berlangsung sejak 2013 lalu. Bahkan sekarang negara ini menjadi big market dan serbuan produk obat ilegal.
Ketiga, papar Arteria, kasus ini bisa menggagalkan program pemerintah yang sudah berjalan dan disosialisasikan selama 60 tahun. Nanti orangtua akan enggan membawa anak-anaknya ke fasilitas pelayanan kesehatan karena terbukti vaksinnya palsu.
“Bayangkan kalau kejadian ini terjadi, tradisi baik dengan perjuangan puluhan tahun ini bisa sia-sia dan ke depan kita bermasalah dengan sumber daya manusia,” jelas dia.
Lebih lanjut, Ateria mengatakan kejahatan ini serius dan tidak ada unsur pemaaf maupun unsur pembenar sekalipun, baik sisi etika, moral dan hukum karena sudah pasti bersalah. Karena itu, semua yang terkait harus bertanggung jawab.
Dia juga mempertanyakan kerja dari BPOM yang diberikan kewenangan oleh UU untuk mengawasi peredaran obat ilegal dan palsu.
“Kan sederhana, kasus ini temuan penyidik polri bukan BPOM. Kalau merasa tidak bisa kerja, ya mundur, karena sudah kasat mata, khususnya peredaran obat ilegal, obat palsu dan obat kadaluarsa beredar bebas di masyarakat. Fasilitas pelayan kesehatan, kalau terbukti bersalah, ya dicabut saja izinnya, direktur rumah sakit maupun petugas pengadaan dan dokter serta tenaga kesehatan yang terbukti terlibat pidanakan saja seberat-beratnya kalau perlu dihukum mati,” tegasnya.
Arteria juga minta pemerintah segera mengumumkan hasil investigasi peredaran vaksin palsu, baik itu jenis vaksin, sarana dan prasarana pelayanan kesehatan masyarakat yang digunakan baik itu rumah sakit, klinik, dokter, tenaga kesehatan, petugas pengadaan, cakupan peredaran, maupun korban. Bagi korban, imbuhnya, perlu segera dan sedapat mungkin dilakukan upaya pemulihan. (goek/*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS