SURABAYA – Masalah pengelolaan kampung lawas di Kota Surabaya jadi topik yang menghangatkan acara reses anggota Komisi B dari Fraksi PDI Perjuangan DPRD Provinsi Jawa Timur, Agatha Retnosari, Selasa (2/11/2021) malam.
Bagi pemerhati seni dan sejarah, acara reses Agatha juga melegakan, setelah mereka menumpahkan uneg-uneg yang selama ini menggelayuti benak, seputar pengelolaan peninggalan sejarah yang bertebaran di Kota Pahlawan.
Baca juga: Agatha Retnosari Serap Aspirasi Fasilitator Lingkungan dan Pegiat Bank Sampah Surabaya
Malam itu, teras dan pekarangan Lodji Besar, rumah kuno dengan arsitektur khas peninggalan Belanda di Jalan Makam Peneleh no.46, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, yang menjadi titik reses Agatha, dipenuhi anggota Begandring Soerabaia, perkumpulan para pemerhati budaya dan sejarah.
Acara serap aspirasi masyarakat itu juga diikuti warga sekitar, serta dosen dan beberapa mahasiswa Ilmu Budaya dan Sastra dari Universitas Airlangga yang sedang melakukan penelitian di Kawasan Peneleh. Hadir juga, kader Banteng yang duduk di Komisi D DPRD Surabaya, Dyah Katarina.
Pada kesempatan itu, Koordinator Begandring Soerabaia, Nanang Purwono mengungkapkan, Kampung Peneleh, kawasan yang kental dengan sejarah kolonial dan memiliki banyak bangunan arsitektur Belanda, sampai sekarang belum menjadi program utama pariwisata Kota Surabaya dan rencana induk pariwisata provinsi.
Padahal, kawasan ini sangat potensial sebagai destinasi wisata di Kota Pahlawan. Agar kawasan bersejarah ini dapat sentuhan lebih serius, dia mengusulkan dibentuk Perda (Peraturan Daerah) yang di dalamnya mengatur tentang pengelolaan cagar budaya.
“Ketika ada Perda itu, maka apapun yang ada di kota ini terkait dengan warisan budaya dan heritage itu mau tidak mau harus tersentuh dengan pengelolaan. Pengelolaan itu artinya pemeliharaan, perbaikan, perawatan, hingga pemanfaatan,” beber Nanang.
Kalau belum ada Perda itu, jelas dia, maka sifatnya sebatas cagar budaya yang hanya perlu dilestarikan, namun belum berbicara pada satu tingkat pemanfaatan.
“Kawan-kawan Begandring sudah mencoba memanfaatkan tempat-tempat bersejarah yang ada di sini. Kalau nantinya pemerintah kota sudah memiliki Perda itu, maka kewajiban bagi pemerintah kota untuk melaksanakan Perda. Bagaimana caranya ini termanfaatkan,” papar salah satu ‘bidan’ Begandring Soerabaia itu.
Mendengar aspirasi pemerhati sejarah budaya ini, Agatha Retnosari pun ‘membuka’ pintu lebar-lebar bagi Begandring Soerabaia khususnya, untuk mewujudkan Perda cagar budaya tersebut. Dia mengajak mereka untuk melakukan hearing ke DPRD Provinsi.
Menurut Agatha, Begandring Soerabaia lebih mengerti apa yang dibutuhkan oleh masyarakat, terutama untuk pelestarian cagar budaya.
“Saya mengusulkan ke teman-teman kalau misalnya bersedia untuk melakukan hearing ke DPRD Provinsi, khususnya ke komisiku. Karena mereka yang tahu kondisi yang ada di lapangan, mereka yang selama ini day-to-day sudah menjalani persoalan-persoalan tersebut,” ujar Agatha.
Dia pun bakal mengusulkan pembentukan Badan Pengelola Kawasan Wisata Sejarah. Nantinya badan tersebut bisa membantu masyarakat yang terlibat dalam pembentukan grand design, pengelolaan, dan percepatan koordinasi dengan pemerintah.
“Mereka membutuhkan wadah yang namanya Badan Pengelola Kawasan Wisata Sejarah. Seperti yang sudah ada di Semarang,” imbuhnya.
Soal acara reses di Peneleh, terang Agatha, karena kawasan ini nilai sejarahnya kuat. Menurutnya, kawasan ini merupakan bukti fisik sejarah yang harus dijaga betul.
“Peneleh ini kan kampung yang sangat bersejarah sekali ya. Di sini itu banyak sekali tokoh nasional mulai dari Pak Cokro (Haji Oemar Said Tjokroaminoto), kemudian ada Bung Karno. Bung Karno lahir disini, di kampung ini, terus kemudian Bung Karno ditempa belajar tentang politik tentang organisasi itu juga dikampung sini,” jelentrehnya.
“Ini sudah rahasia umum bahwa banyak peneliti-peneliti sejarah dari berbagai belahan dunia, kalau mau meneliti sejarah Indonesia terutama yang di zaman kolonial Belanda pasti datang ke Makam Peneleh,” imbuh alumnus ITS Surabaya ini.
Senada dengan Agatha, anggota DPRD Surabaya Dyah Katarina juga mengajak Begandring Soerabaia menjadi audiens saat penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) di DPRD Kota Surabaya terkait revisi Perda cagar budaya di Kota Pahlawan.
“Saya yakin kalau sebuah cita-cita pemerintah atau warga bisa disatukan dari berbagai sisi, itu akan makin kuat. Kalau pemerintah hanya membuat aturan tapi warga tidak dilibatkan, nanti akan berjalannya juga timpang,” ujarnya. (sani/pr)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS