NGAWI – Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Ma’arif Kendal Kabupaten Ngawi menggelar Stadium General dengan topik “Pendidikan Politik Kebangsaan dan Peran Hukum Islam di Era 4.0,” Sabtu (11/9/2021). Hadir sebagai narasumber dua politisi muda, yaitu Diana AV Sasa, anggota Fraksi PDI Perjuangan DPRD Jawa Timur dan Gus Anam, Wakil Ketua DPRD Ngawi.
Dalam paparannya, Sasa, sapaan akrab Diana AV Sasa, menyampaikan lima modal politik kebangsaan. Pertama, Masuki tiga sistem pendidikan sekaligus dalam aktivitas kehidupan. Yakni, pendidikan keluarga, perguruan, dan pergerakan.
“Ki Hadjar Dewantara dalam pola pendidikan kebangsaan dan nasionalisme membikin tiga lingkaran pendidikan yang saling mendukung satu dengan lainnya, yaitu keluarga, perguruan, dan pergerakan,” ujar Sasa.
Menurutnya, keluarga merupakan wadah belajar: memasak, mencuci, istirahat, membaca, hiburan. Pendeknya, di rumah wadah mengasah karakter, kedisiplinan individual, kemandirian. Selanjutnya, di sekolah, di perguruan (tinggi), kita mesti belajarlah tentang ilmu pengetahuan untuk pemberdayaan.
“Lalu, jangan lupa ikut pergerakan untuk mengasah nurani sosial, berdiskusi, latihan menyampaikan pendapat, advokasi, manajemen organisasi, negosiasi dan diplomasi,” jelasnya.
Modal kedua, membaca. Menurut Sasa, seorang politisi kebangsaan, atau apa pun itu, modal utama yang dibawa adalah pikiran. Isi kepala dengan hal-hal yang bergizi dengan banyak membaca. Salah satunya adalah membaca pengalaman politik para pendiri bangsa.
“Untuk mengetahui pengalaman itu, wajib membaca buku-buku biografi bermutu. Bagaimana para tokoh itu meramu pikirannya, beraktivitas, berpolitik, dan seterusnya. Pengalaman berharga mereka bisa menjadi modal gerak politik kelak,” paparnya.
Pendiri perpustakaan Dbuku ini melanjutkan, modal ketiga dalam politik kebangsaan itu adalah menulis. Dengan menulis, seorang politisi dapat merekam gagasan. Dengan menulis, seorang politisi bisa melakukan dialektika pikiran.
“Menulis merupakan usaha dan cara memformulasi dan menyampaikan pikiran secara runut, tertata, tajam. Latih kemampuan ini sejak dini. Menulislah selihai-lihainya, setajam-tajamnya sejak usia muda juga. Menulis adalah cara kita menemukan pikiran sendiri dan membaginya ke orang lain,” urai Sasa.
Modal keempat politik kebangsaan adalah nyantri politik. Seorang politisi harus punya pengalaman berpolitik. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah nyantrik.
“Tanpa pengalaman, niscaya bisa terbentuk. Kita bisa nunut magang kepada “senior”. Dalam proses magang politik itu, cermati segala hal dengan detail: negosiasi, etika sehari-hari, cara bicara, mengelola forum, memimpin rapat-rapat penting (dan tidak penting),” jelasnya.
Sedangkan untuk modal yang kelima, adalah berpartai. Dalam hal ini, Sasa menegaskan, bahwa secara konstitusi, demokrasi Indonesia menyaratkan para politisi untuk ber-partai dalam memperjuangkan aspirasinya. “Jika kita ingin serius dalam berpolitik, ya kita harus berpartai. Saran saya, masuki partai politik di mana hati dan pandangan politik kita sreg, cocok. Terjun ke sana. Jika bisa, mulailah dari bawah, berkarir dari bawah. Supaya apa? Supaya matang dalam berpartai,” tegasnya. (rud/hs)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS