Sejak kemunculannya pertama kali di awal 2020, corona seolah enggan menjinak. Ia ibarat banteng ngamuk yang merusak apa saja. Menciptakan pandemi dan seolah tak berujung. Memaksa orang-orang mengunci diri dalam rumahnya bagai anak ketam bersembunyi dalam liang. Negara lain menerapkan Lockdown. Negara kita memberlakukan PPKM Darurat.
Namun tulisan ini bukan soal pandemi dan segala airmata dukanya. Melainkan ini soal waktu. Saat masa-masa sebelum pasukan corona menciptakan pandemi, waktu terasa begitu kencang berlari. Namun masa-masa mendekam dalam rumah, tiba-tiba kita merasa waktu begitu lamban seperti siput kebun terserang encok. Apakah waktu sebenarnya?
Saat membicarakan waktu, umumnya orang akan merujuk pada sebuah amsal: waktu adalah uang. Dan menghasilkan uang berarti menggiatkan kerja. Waktu adalah benih, kerja adalah pupuk, dan uang adalah buah. Namun apakah waktu hanya berpusing pada urusan itu? Tentu saja tidak. Mari simak kisah berikut ini.
Sebuah angkot berjalan tenang menyusuri jalan Madura yang berlobang. Penumpang penuh. Siang itu hari begitu terik. Sesekali supirnya mengusap peluh sembari menghisap kreteknya dalam-dalam. Kemudian di sebuah masjid pinggir jalan berkumandang azan zuhur. Tanpa basa-basi si sopir membanting setir. Membelokkan angkot ke halaman masjid. Mematikan mesin dan berjalan santai ke tempat wudu. Sebelumnya sang sopir berucap pada para penumpangnya, ”Kalau ada dari Bapak dan Ibu sedang tergesa, saya persilahkan menumpang angkot lain. Saya mau zuhur dulu,” ucapnya dengan bahasa Madura yang kental. Waktu menunggu tidak bisa dibilang singkat. Setengah jam itu masuk cepat. Kalau hari Jum’at bisa sampai dua jam lebih untuk penumpang bisa menikmati laju angkotnya lagi menyusuri jalanan gahar Madura.
Penumpang yang baru pertama kali ikut angkot ini pasti menggerutu. Sementara penumpang lain yang sudah langganan cuma mesam-mesem. Tapi itu tak membuat supir angkot itu kehilangan pelanggan. Jadi, kalau Anda buru-buru jangan ikut angkot itu. Anda akan kecewa. Tapi itu tahun 1970-an. Dan supir angkot itu sudah meninggal di usianya yang ke-80 beberapa tahun silam.
Supir angkot itu bernama Amin. Alumni pesantren dan pernah satu kamar dengan KH. Wahid Hasyim, bapaknya Gus Dur. Di kalangan pesantren dia dikenal dengan sebutan Kiai Besar tanpa pesantren.
Cerita soal KH. Amin beberapa kali saya dengar. Pertama dari ibu saya. Ibu saya cucu dari supir angkot nyentrik itu. Berikutnya cerita yang sama saya dengar dari seorang tambal ban yang marah pada seorang supir yang menggerutu karena bannya yang bocor tak gegas ditangani. ”Mau ke mana buru-buru? Kalau tak salat tak bakal masuk surga. Amin yang tak pernah buru-buru malah makin banyak penumpangnya,” ujarnya dengan kesal. Menyebut nama Amin itulah kemudian saya bertanya. Dan cerita sang tukal tambal ban sama dengan cerita ibu saya.
Memang dalam sudut pandang modernitas seperti orang yang tinggal kota-kota besar, waktu menjadi satu dari sekian banyak satuan ukur atas apa yang dikenal hari ini sebagai kualitas. Akurasi waktu dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan adalah bentuk dari profesionalisme; sebuah stempel gagah bagi para pekerja. Yang lahir dari profesionalitas adalah peningkatan produksi. Dengan bekerja secara profesional bisa meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Itu artinya, sesuai dengan semangat kapitalisme: modal sekecil-kecilnya untuk laba sebesar-besarnya. Kata-kata itu mungkin Mak Ning tak akan mengerti maknanya. Karenanya bagi kaum metropolitan kata deadline seperti menjadi cambuk. Begitu cambuk diayunkan, maka manusia berubah menjadi seperti kuda pacuan. Cetarrr, mereka akan berlari, berlari, dan berlari, mengejar waktu. Menyelesaikan kerjanya.
Di mata orang kota, waktu memang sangat berharga. Pasalnya, sederhana saja. Waktu telah dikonversi ke dalam mata uang. Mempersingkat waktu, memperbanyak produksi adalah adagium yang wajib dipenuhi. Biang kerok dari semua itu adalah revolusi industri tujuh abad lalu. Di masa itu mesin-mesin diciptakan untuk menghasilkan lebih banyak barang dalam waktu singkat, uang berputar begitu cepat dan kapital terus berlipat-lipat. Corak produksi tradisional yang penuh nilai sosial digerus kapitalisme modern menjadi sangat transaksional. Ada uang abang disayang, tak ada uang silahkan abang onani di parkiran.
Tak perlu heran jika kebanyakan wajah orang kota terlihat begitu sumpek dan lelah. Wajah itu tak bisa disembunyikan dari dasi dan kemejanya yang mahal. Tak bisa juga disembunyikan dari baju koko dan sarung BHS saat tarawih. Ya, ya, mereka sejatinya hanyalah korban. Korban dari garangnya roda kapitalisme yang berputar. Hidupnya dikejar-kejar untuk menjual waktunya yang berharga dengan murah, tapi belum tentu tahu benar siapa yang mengejar, kepada siapa sejatinya waktu terlanjur dijual. Jangankan berkesempatan untuk membaca buku-buku bagus, berkontemplasi pada sastra, atau aktualisasi bakat dan minatnya, bahkan untuk sekadar berkumpul dengan keluarga tercinta saja, harus menunggu libur kerja.
Jangan heran jika yang diandalkan untuk bisa berinteraksi adalah aplikasi-aplikasi instant. Seperti teman saya yang menginstalkan kamus KBBI dan wikipedia di Ipadnya hanya untuk paham arti sebuah kata. Tanpa pernah mau belajar makna dan fungsinya. Bahkan untuk membincangkan soal ‘jiwa sosialita’ saja, ia harus saklek pada terjemahan. Tak bisa lagi membedakan mana denotasi, mana konotasi.
Karena makin ke depan laju roda kapitalisme kian kencang dan liar bahkan jika seandainya waktu dalam sehari jadi tigapuluhtiga jam pun, barangkali tetap tak akan nutut. Pagi-pagi buta, orang kota sudah bergegas memacu motornya di jalanan menuju tempatnya mencari makan, lalu bergumul dengan pekerjaannya sekian jam sehari. Pulang ketika langit telah petang. Dan seringkali terhadang macet sehingga sampai rumah telah malam. Nyaris hidup manusia kota dalam sehari habis menguap untuk menciptakan nilai lebih, mengakumulasi kapital yang tak pernah ia kantongi sendiri.
Jauh berbeda dengan kehidupan di kampung. Nyaris semua orang punya cukup waktu untuk bersantai. Di sebuah desa agraris jika padi tak bisa dipanen hari ini, masih bisa besok. Di desa-desa pesisir tak jauh beda. Jika cuaca sedang tidak ramah, tak perlu mekso melaut. Alam mengajarkan manusia kampung untuk menerima kenyataan. Mengikuti ritme alam. Mengikuti laku spiritual semesta.
Tanpa bermaksud menolak segala modernitas kota, alangkah indah dan nyamannya seandainya modernitas bisa terlepas dari kanker yang menggerogotinya: kapitalisme. Telah sekian lama kapitalisme membuat manusia serba terasing. Teralienasi, baik dari fungsi-fungsi sosialnya, dari kemanusiawiannya, dari produk kerjanya, maupun dari dirinya sendiri. Tentu saja kita butuh modernitas, tapi dengan semangat kampung. Agar kita bisa kembali menjadi manusia sesungguhnya, organisme otonom yang merdeka. Dan bisa menjadi diri sendiri dengan merebut kontrol atas diri sendiri yang terus dirampas kapitalisme untuk menghasilkan nilai lebih tanpa pernah dimiliki sendiri, semisal bangun tidur kapan saja tanpa harus menunggu hari libur. Bekerja kapan saja tanpa dicemaskan oleh batas akhir sebuah deadline.
Sampai di sini betapa beruntungnya para petani yang memiliki tanahnya sendiri, mengolah tanahnya sendiri, dan makan dari hasil keringat dan tanahnya sendiri. Mereka menjadi manusia yang sejati. Tanpa pernah dipusingkan dengan dera waktu yang kadang lecutannya kerap melukai nurani.
Karena itu terlalu berlebihan jika di masa sulit ini memaksa semua orang masuk rumah tanpa kompensasi yang layak, sebab tidak semua orang punya tabungan untuk bertahan dari amukan pandemi. Mereka yang tetap keluar rumah di saat PPKM Darurat adalah mereka yang bertarung menaklukkan nasib. Mencoba menjinakkan waktu yang kadang terlewat genit. (*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS