Media sosial telah mengubah wajah kehidupan umat manusia, termasuk di bidang politik. Tak bisa lagi gerakan kampanye politik menihilkan peran media sosial. Bisa berhasil, tapi cukup berat untuk bisa dilakukan. Apalagi dalam konteks 2024, di mana penetrasi teknologi dipastikan akan semakin masif dan bakal mengubah landscape perilaku komunikasi masyarakat.
Mari kita cek basis datanya. Hasil Sensus Penduduk 2020 menyebutkan, jumlah penduduk Indonesia saat ini mencapai 274,9 juta jiwa. Dari angka itu, sebesar 53,81 persen atau setara 145 juta diidentifikasi sebagai generasi millenial dan generasi Z (usia 8-39 tahun). Sebagian dari mereka kini duduk di kelas IX (SMP kelas III) dan kelas X (SMA kelas I), di mana ketika pemilu 2024 digelar sudah akan memiliki hak pilih.
Pada tingkat yang lebih lokal, baik itu provinsi maupun kabupaten/kota, proporsi jumlah penduduk berdasarkan usia juga tidak jauh berbeda: generasi Z dan milenial sangat mendominasi.
Artinya, masa depan partai dan gerakan politik apapun (termasuk penetrasi ideologi) secara tidak langsung sebenarnya ada pada 145 juta penduduk usia muda tersebut—yang mayoritas adalah pengguna media sosial. Berdasarkan data platform manajemen media sosial Hootsuite, jumlah pengguna aktif media sosial Indonesia mencapai 170 juta.
Data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2020 lebih besar lagi: terjadi lonjakan signifikan pengguna internet dari 64,8 persen menjadi 73,7 persen. Persentase itu setara sekitar 196 juta dari 266,91 juta penduduk. Siapa pengguna terbesar? Tentu saja generasi Z (15-20 tahun) dan generasi milenial (25-39 tahun).
Angka tersebut tidaklah kecil. Bisa dibayangkan jika gerakan media sosial partai ini bisa mempengaruhi 50 persen saja dari pemilih muda aktif bermedsos tersebut. Pasti dampaknya sangat dahsyat. Sebab itu, memanfaatkan media sosial bagi partai, menurut penulis, menjadi sebuah keharusan bagi PDI Perjuangan.
Maka tidak mengherankan jika kini kita melihat, hampir semua partai politik berlomba-lomba memobilisasi anak-anak muda di media sosial. Memperkuat lini media sosial dalam kampanye politik bukan hanya soal gaya, bukan soal ikut-ikutan tren, tapi ini soal kebutuhan. Faktanya, kita melihat, saat ini media sosial memang menjadi sumber informasi bagi mayoritas warga, terutama dari kalangan muda.
Hasil survei Katadata Insight Center (KIC) bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan, masyarakat Indonesia lebih mempercayai informasi yang beredar di media sosial ketimbang situs resmi pemerintah. Survei dengan 1.670 responden, yang dilakukan selama 18-31 Agustus 2020 lalu itu memotret data 76% responden mencari informasi melalui media sosial, lalu 59,5% televisi, dan 25,25 berita online.
Dari data-data itu, kita bisa membayangkan efek ledak dari media sosial. Semakin kita bisa mengelola isu dengan baik di media sosial, dampaknya ke gerakan politik juga pasti akan baik.
Bukan Hanya Soal Menang Pemilu
Banyak yang mengartikan urusan media sosial hanya untuk menggaet suara publik. Hanya urusan popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. Sebagai kader yang telah puluhan tahun berada di PDI Perjuangan, saya betul-betul memahami bahwa bagi PDI Perjuangan, media sosial bukan hanya urusan elektoral pemilu semata. Tapi sudah jauh lebih besar dari itu: urusan kebangsaan. Politik bagi PDI Perjuangan memang bukan hanya soal Pemilu, tapi bagaimana menjaga negara ini dalam jalur kebangsaan yang inklusif dan berbhinneka.
Hari-hari ini kita menghadapi ancaman intoleransi yang tidak bisa diremehkan lagi. Narasi-narasi intoleran semakin mudah kita temui dalam jagat ”demokrasi digital” di Indonesia.
Data-data yang mengkhawatirkan juga tersaji di hadapan kita. Hasil survei Indikator Politik Indonesia (Maret 2021) menunjukkan, anak-anak muda kini memiliki kecenderungan intoleran dari sisi politik yang terasa cukup memprihatinkan. Datanya: 38,6 persen anak muda berkeberatan non-muslim menjadi presiden, 29,3 persen anak muda berkeberatan non-muslim jadi gubernur; 29 persen berkeberatan non-muslim menjadi wali kota.
Data lainnya tak kalah bikin sedih: 16 persen berkeberatan jika non-muslim membangun tempat peribadatan di sekitar tempat mereka dan ada 12 persen berkeberatan mengadakan acara keagamaan di sekitar tempat mereka tinggal.
Indikasi semakin meruyaknya kelompok intoleran di jagat maya sebenarnya bisa kita lihat pada beberapa hal. Misalnya, betapa banyak konten intoleran berseliweran di media sosial; terus tumbuhnya penikmat konten-konten intoleran dari tokoh yang dikenal intoleran. Tindakan tegas dari sisi hukum yang dilakukan pemerintah terhadap kelompok yang terindikasi intoleran rupanya telah mampu ”membakar ilalang”, membuat siapa-siapa yang bersembunyi di ilalang itu menampakkan diri wajah aslinya yang penuh kebencian pada yang dirasa berbeda keyakinan.
Kita bisa membayangkan, jika kelompok ini begitu membabi buta di media sosial tanpa perlawanan dari elemen-elemen nasionalis. Sekali lagi ini bukan soal pemilu semata, tapi masa depan bangsa. Kita tentu saja tidak ingin intoleransi terus tumbuh subur dan membuat wajah kebangsaan kita semakin tak keruan di masa depan—bahkan berpotensi menimbulkan kekacauan fisik yang bakal membuat rugi banyak orang.
Untuk itulah, kerja-kerja di jagat maya harus terus dimasifkan.
Ketika kita menyuarakan konten kerja-kerja kerakyatan dari para kader partai—di mana jelas-jelas partai ini berideologi Pancasila, otomatis saat itu juga kita sedang melawan radikalisme. Ketika kita mengunggah konten-konten kegiatan partai, otomatis saat itu juga kita sedang melawan radikalisme.
Kalau kita bisa terus mempertahankan kemenangan melawan radikalisme, berarti kita juga bisa memastikan bahwa anak-cucu kita masih bisa menikmati Indonesia yang ramah, penuh rasa persaudaraan, tak tercabik sebagaimana sejumlah negara di Timur Tengah.
Apa yang Dilakukan PDI Perjuangan Jawa Timur?
PDI Perjuangan Jawa Timur tidak ketinggalan dengan gerakan media sosial. Kami sudah memiliki akun media sosial resmi partai, baik akun Facebook, Instagram, Youtube, dan Twitter.
Untuk konten, partai juga sudah sering membekali pengurus dan kader dengan pelatihan-pelatihan khusus. Misalnya, membuat konten menarik berupa penulisan artikel, video, infografis dan foto, semuanya sudah dilakukan.
Meskipun begitu, pelatihan-pelatihan tersebut menurut hemat penulis akan menjadi lebih optimal kalau gerakan bermedsos ini dilakukan secara gotong-royong melibatkan semua elemen partai.
Semua pengurus mulai tingkat DPD, DPC, sampai tingkat ranting harus ‘Holopis Kuntul Baris’ dalam gerakan sadar medsos partai ini. Gotong-rotong klik-like-comment-share: ‘Klik’ berita tentang partai, ‘Like’ akun fanspage media sosial partai, berita komentar yang positif, lalu ‘Share’ atau bagikan konten berita positif, artikel, video dan lain sebagainya. Juga ’save’ untuk beberapa media sosial.
Gotong royong klik, like, comment, save, dan share itu sangat penting karena semakin banyak kader melakukannya, secara otomatis konten akan terus berputar menjangkau pembacanya. Ini penting dipahami karena algoritma medsos, secara sederhana, akan ”mengelilingkan” konten yang mendapat like, comment, save, dan share banyak—sebab mesin algoritma medsos akan menilai bahwa konten tersebut diminati sehingga secara otomatis mesin medsos akan mendorong konten tersebut untuk menjangkau semakin banyak orang.
Saya membayangkan jika 10.000 saja kader melakukannya pada tiap konten partai di Jawa Timur, betapa besarnya dampak viralitas yang akan ditimbulkan. Itu baru 10.000 kader. Padahal kita punya ratusan ribu kader aktif dan jutaan simpatisan di Jawa Timur.
Sejauh ini PDI Perjuangan Jawa Timur bisa dibilang menjadi pelopor partai modern yang membangun media online internal sendiri. Partai ini menjadi yang bertama beradaptasi dengan iklim media online saat itu dengan meluncurkan media online resmi partai.
Bahkan baru-baru ini ketika ramai podcast, PDI Perjuangan Jawa Timur juga tidak mau ketinggalan. Dengan membangun semua lini media digital ini, harapannya kekuatan udara partai semakin kuat. Sekarang tinggal bagaimana memanfaatkannya, kemudian memperluas jangkauannya kepada masyarakat agar semakin berisik di jagat media sosial.
Sebagai orang yang telah puluhan tahun menjadi anggota PDI Perjuangan, bahkan saya juga memiliki KTA Banteng Segi Lima, saya tidak menyangsikan sedikit pun soliditas partai ini di lapangan. Gotong royong, kerja keras sampai ndlosor di lapangan sudah menjadi keseharian kita bersama. Tantangan berikutnya bagi kita adalah menyukseskan gotong royong di jagat media sosial. MERDEKA!
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS