MADIUN – Malam itu, aula DPC PDI Perjuangan Kota Madiun berubah menjadi ruang penuh air mata dan kenangan. Di bawah cahaya redup lilin-lilin yang menyala, para kader partai, tua dan muda, berkumpul dalam keheningan yang syahdu untuk mengenang salah satu lembar sejarah paling kelam sekaligus paling membakar semangat perjuangan partai: Kudatuli — Kerusuhan 27 Juli 1996.
Tangisan pecah saat lantunan puisi menyayat hati dibacakan dengan penuh penghayatan. Suara lirih tapi tajam menembus relung hati, menggugah kembali kenangan pahit tentang darah dan nyawa yang tumpah demi tegaknya kebenaran dan keberanian melawan kezaliman.
Beberapa kader senior tampak menunduk dalam-dalam, tangan mereka gemetar, bibir bergetar menahan luka lama yang kembali menganga.
Di sudut ruangan, seorang ibu — kader perempuan yang dulu ikut berjuang saat kantor DPP diserbu — tak mampu membendung air matanya. Dia menangis sesenggukan tak kuasa membendung air mata.
“Mereka tidak pergi… mereka abadi dalam napas perjuangan kita,” bisiknya lirih.
Renungan Kudatuli malam itu bukan sekadar seremoni. Namun pertemuan batin para kader dengan sejarah partainya. Beberapa di antaranya membawa anak-anak mereka, generasi penerus yang duduk diam menyimak, menyaksikan betapa berat dan mahal harga sebuah keberanian.

Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Madiun, Anton Kusumo dalam sambutannya yang tertahan oleh emosi, menyampaikan pesan mendalam.
“Mereka yang gugur bukan hanya pejuang partai, mereka adalah martir demokrasi. Kita tidak boleh melupakan. Kita tidak boleh berhenti. Setiap air mata malam ini adalah janji, bahwa kita akan terus menjaga rumah besar ini, sebagaimana mereka menjaganya dengan nyawa.”
Acara dilanjutkan dengan penyalaan lilin oleh para pengurus dan kader. Satu per satu nama-nama korban Kudatuli dibacakan, dan dengan setiap nama, lilin dinyalakan — menerangi ruangan dengan cahaya simbolik dari jiwa-jiwa yang tak pernah padam.
Saat lilin terakhir dinyalakan, seluruh ruangan membisu. Tak ada suara. Hanya helaan napas yang berat dan mata yang berkaca-kaca.
Di akhir acara, seluruh kader mengangkat tangan, memanjatkan doa bersama. Bukan hanya untuk para korban yang gugur, tapi juga untuk kekuatan menjaga marwah PDI Perjuangan sebagai partai ideologis yang berdiri di atas penderitaan rakyat.
Malam itu, Kota Madiun mencatat ulang sejarah — bukan di buku, tapi di hati para kader yang berjanji tak akan melupakan. Kudatuli bukan hanya luka, ia adalah api yang terus menyala dalam dada-dada yang setia. (ahm/pr)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS