SAYA akhirnya tiba kembali pada kepingan tanah mantra yang sering didongengkan orang-orang di desaku: Kemiren, Banyuwangi, tanah Osing. Di desaku, Desa Pinggir Papas, Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep, Osing dikenal sebagai mantra sakti. “Kalau sudah dikena Osing, cukup satu kali. Cukup sehari,” ujar seorang tetangga suatu hari. “Kalau sudah kena Osing, tamatlah segala cerita.”
Cerita Osing sebagai mantra saya dapatkan pada tahun 1990-an, ketika listrik belum menyalakan rumah-rumah; ketika orang-orang suka berkisah di teras rumah; ketika tv masih hanya hitam putih di rumah-rumah orang kaya.
Beberapa tahun kemudian, saya mendapati cerita baru tentang Osing. Muttafaqur Rahmah, teman satu angkatan di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas bahasa dan seni, Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Menurutnya, Osing memiliki makna menolak. Menolak dijajah Majapahit. Mereka tidak mau masuk pada lingkaran kekuasaan Majapahit. Suku Osing sama seperti suku lainnya yang ada di Indonesia: hidup dan tumbuh kembang dengan tradisi dan budayanya.
“Mantra-mantra Osing itu biasanya digunakan pada saat acara pertunjukan Gandrung. Ada sih beberapa mantra yang mematikan. Mereka memang memiliki mantra. Tidak semuanya jahat,” ujar Uut, begitu kami memanggilnya, beberapa tahun lalu.
Kamis, 24 Oktober 2024, sore itu, saya mendapat sambutan luar biasa dari Uut setelah enam tahun kami tidak pernah bertemu. Tubuhnya sedikit gemuk. Kali terakhir kami bertemu, tahun 2018, pada acara sarasehan pendidikan di Universitas 17 Agutus 1945 (Untag) Banyuwangi. Enam tahun lalu itu, Uut menghardik saya karena berhenti dari mengajar. “Kau tidak menghargai perjuanganmu. Jika hanya mau di politik, kenapa susah payah kuliah S2 di UGM?”
Tapi tidak Kamis sore itu. Ia menyambutku dengan senyum yang ramah. Senyum yang juga diberikan pada ratusan peserta Jambore Sastra Asia Tenggara (JSAT). Selama tiga hari, 24-26 Oktober 2024, ratusan penyair, seniman dari berbagai kota di Indonesia dan Malaysia serta Singapora, akan terlibat dalam gelaran JSAT. Selama tiga hari pula, para penyair akan mengikuti sejumlah rangkaian acara: Gala Dinner, Penyair/Sastrawan ke Sekolah, nonton wayang golek, diskusi dan bedah buku antologi JSAT, penandatanganan maklumat sastra, nonton gandrung sewu, dan lainnya.
Masih selama tiga hari, para penyair akan bermukim di rumah penduduk. Mereka akan berbaur dengan masyarakat Kemiren. Panitia mengambil langkah cerdas, pikirku. Mereka tidak hanya menggeret sastrawan ke tengah masyarakat, tapi juga memberdayakan masyarakat dengan kegiatan sastra.
Saya menempati sebuah rumah sederhana. Pak Opik, pemiliknya. Tekstur dindingnya seperti berasal dari akhir tahun 1990-an atau 2000-an awal. Rumah yang begitu luas untuk menampung enam orang: Pak Opick, istrinya, anaknya dan tiga penyair. Kali pertama menyambut kami, Pak Opick menawari kami minuman: teh atau kopi. Dari caranya melayani tamu, saya menduga, Pak Opik dan sekian tuan rumah lainnya, sudah ‘terbiasa’ menyambut dan melayani tamu yang ingin bermalam di Banyuwangi. Apakah ini dampak program pemberdayaan homestay yang dilakukan pemerintah daerah setempat? Jika benar, Kemiren menjadi potret bonding antara political will pemerintah dan kehendak rakyat untuk maju.
***
Acara Gala Dinner, hanya menyisakan cerita dan petunjuk untuk acara berikutnya. Saya bertemu dengan dosen sekaligus co-promotor program doktor saya di Unesa, Dr. Tengsoe Tjahjono, lalu kakak kelas saya di Unesa, Tjahyono Widarmanto, penyair dari Ngawi, kakak kelas saya di UGM yang kini menetap di Jember, Siswanto, dan teman-teman baru lainnya.
Saya satu group dengan Tjahyono Widarmanto, Roslina Sastra, penyair perempuan dari Padang, dan Hanom Ibrahim, penyiar perempuan dari Malaysia, untuk kegiatan Penyair/Sastrawan ke sekolah. Kami dipandu dan dilayani langsung oleh guru Bahasa Indonesia MAN 1 Banyuwangi -tempat tujuan kami akan berbagi pengalaman: Nurul Ludfia Rohmah.
Pagi-pagi sekali – begitulah istilah yang digunakan sebagian penyair untuk menyebut pukul 07.00 – kami harus bersiap di titik penjemputan: Rumah Budaya Osing (RBO) Kemiren. Para penyair, dengan raut berseri dan pakaian rapi-tak-rapi bersiap untuk meluncur ke sekolah tujuan.
Ibu Ludfia -begitulah kami memanggil pemandu kami – dengan ceria menjemput kami di RBO. “Sebelum ke sekolah sudilah kiranya bapak-ibu mampir ke gubuk kami? Bisa mencicipi kopi buatan kami.” Tawaran yang tak bisa ditolak. Tapi gubuk kami? Penggunaan majas yang selalu membuat saya mawas diri. Pasti ini bukan rumah biasa.
Benar dugaan saya. Meski bertipe 36 pada umumnya hunian perumahan, rumah Ibu Ludfia menyimpan harta yang memukau kami: beberapa rak buku, meja pembuatan kopi, dan alat-alat praktis pembuat kopi. Toecopi: Toekang Corot Kopi, nama yang tertera di meja pembuatan kopi.
Ibu Hanom mencoba membuat kopi tubruk. Begitu juga dengan Mas Tjahyono dan Ibu Roslina tampak terlibat dengan hal-ihwal meracik kopi. Kata Ibu Ludfia, pengunjung rumahnya cukup ramai saban hari. Mereka tidak hanya melulu mencicipi kopi. Tapi juga belajar bagaimana membuat atau memasak kopi yang pas dengan selera.
“Kami juga mengedukasi dalam penyuguhan kopi,” tutur Ibu Ludfia. Karena satu hal, saya keberatan untuk mencicipi kopi. “Untuk Mas Set kita buatkan minuman spesial,” Pak Dedi, suami Ibu Ludfia, buru-buru menawarkan minuman ‘yang dirahasiakan.’
“Teh?”
“Lihat nanti. Cicipi dulu, lalu tebak.”
Lalu penasaran menyergap kami. Sembari menunggu suami Ibu Ludfia menyuguhkan minuman khas gubuknya, saya mengamati puluhan, ratusan buku yang memenuhi dinding ruang tamu. Kami benar-benar berada di gubuk buku dan kopi. Ibu Ludfia ternyata seorang penulis. Dia menyodorkan buku bunga rampai yang memuat tulisannya. Ia membahas tentang Julia Kristeva.
“Coba cicipi minuman ini,” Pak Dedi menyodorkan minuman rahasinya dalam French Press.
“Seperti apa rasanya?”
Kami sepakat, kami merasakan rasa teh yang dicampur buah yang kecut, seperti belimbing wuluh. Enak sih. Membuat kepala segar.
Eh, ternyata minuman khas itu bukan teh. Cascara. Ya, nama minuman spesial itu namanya Cascara. Ia dibuat dari kulit buah kopi. Cara penyuguhannya harus cermat dan hati-hati: takarannya harus pas. Jika tidak, rasanya tidak akan ‘keluar.’
“Wah, minuman ini yang akan membuat kami rindu kembali ke gubuk pengetahun ini,” selorohku.
***
Gelaran JSAT harus diakui berlangsung meriah dengan beberapa catatan perbaikan. Setiap penyair menyimpan cerita, foto dan nomor teman baru untuk dibawa pulang sebagai kenang-kenangan. Saya sendiri menyimpan serangkaian foto di rumah Ibu Ludfia, di MAN 1 Banyuwangi, di gerbang Kawah Ijen, di atas Kawah Wurung, dan juga viode durasi pendek di perkebunan kopi.
Saya juga mengingat beberapa lagu Banyuwangi yang saya dapatkan di gelaran wayang golek dan beberapa percakapan di tempat ngopi. Dari sekian percakapan itu, kata-kata Dr. Tengsoe Tjahyono memenuhi kepala saya, “Benarkah antologi puisi itu benar-benar berbicara Ijen? Atau hanya refleksi atas Ijen yang mereka baca di google atau di buku?”
Entahlah.
Sepanjang perjalanan pulang, saya hanya mengingat tempat-tempat yang saya kunjungi, seperti kepingan tanah mantra yang mesti dijejak: puisi, saya akan kembali lagi.
*Tulisan ini dimuat di Radar Madura, Minggu, 10/11/2024.
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS