Alam politik kebudayaan Indonesia kembali heboh ketika Ustadz Khalid Basalamah mengharamkan wayang. Indonesia pun dilanda goro-goro. Pernyataan tokoh Wahabi tersebut menyentuh hal yang paling mendasar tentang karakter dan salah satu identitas kebudayaan Indonesia yang begitu membanggakan bagi Indonesia dan dunia. Dalam dunia wayang, pernyataan Ustadz Basalamah menjadikan politik kebudayaan nasional berada dalam ketidakseimbangan. Publik pun mencari tahu dan melakukan perlawanan kebudayaan, termasuk menggelar berbagai gerakan budaya untuk mendukung pelestarian dan pengembangan budaya Nusantara sebagai karakter dan identitas bangsa.
Dalam proses pencarian terhadap apa dan bagaimana ideologi Wahabi dan Salafi yang telah berulang kali mengharamkan berbagai kebudayaan Nusantara, dan terakhir mengharamkan wayang, lalu darimana mereka berasal? Pencarian publik pun akhirnya membangunkan kesadaran, betapa kebhinnekaan Indonesia kini menjadi terancam. Betapa berbagai bentuk ekspresi seni kemudian jarang ditampilkan ke ruang publik. Jaipongan di Jawa barat, Tayuban di Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi meredup, demikian pula berbagai bentuk kebudayaan lainnya. Dalam hal baju, pakaian, juga terjadi perubahan identitas kebudayaan. Padahal bangsa Indonesia merupakan bangsa dua musim, di mana menurut arsitek Yori Antar, kondisi tersebut ikut berpengaruh terhadap sistem sosial yang membentuk pentingnya kesadaran terhadap ruang publik, dan budaya gotong royong. Kebutuhan ruang publik mendorong lahirnya berbagai cerita rakyat.
Keprihatinan yang sama diutarakan oleh Emha Ainun Najib. Sosok yang dikenal sebagai pemikir, intelektual Muslim, dan sekaligus budayawan tersebut mampu membangun sintesa antar Islam dan kebudayaan Nusantara. Emha pun menegaskan wayang bukan merupakan barang syirik, selama wayang tidak menduakan Tuhan. Wayang baru menjadi syirik kalau menjadi penyebab menduakan Tuhan. Dalam ceramahnya yang kemudian viral, Emha juga menegaskan dirinya sebagai wong Jombang, dengan budaya Jawa yang khas, dan bahasanya yang dikenal sangat egaliter. Semua identitas Emha merupakan karunia Sang Pencipta, di mana dirinya disuruh Tuhan untuk menjadi orang Jombang, menjadi orang Jawa, dan bukan menjadi orang Arab.
Hal yang sama dilakukan oleh Gus Miftah, ulama muda yang kondang dan tiba-tiba langsung mengadakan pentas wayang kulit dengan cerita “Dalang menggugat”. Suatu lakon yang diyakini tidak terlepas dari pidato “Indonesia Menggugat” Bung Karno ketika berhadapan dengan kezoliman kolonialisme Belanda. Para tokoh nasional dan budayawan pun bersatu. Sosok seperti Sidharto Danusubroto, Triawan Munaf, Addie MS, Garin Nugroho, Ananda Sukarlan, dll. langsung bersuara sama: “Saya orang Indonesia, menolak pemusnahan wayang kulit budaya bangsa, harga diri suatu bangsa”.
Dunia media sosial pun menampilkan orkestrasi antara tokoh agama, tokoh nasionalis, budayawan, sejarawan, dan berbagai elemen masyarakat lainnya. Hal yang menarik adalah pernyataan KH Said Aqil Siradj pada tanggal 30 Maret 2021 yang menyampaikan bahwa pintu masuk terorisme adalah ajaran Wahabi dan Salafi. Alhasil, pernyataan sosok ulama yang begitu memahami sejarah Islam, menduduki peran terhormat sebagai anggota dewan pengarah BPIP, dan sekaligus sosok ulama NU yang begitu dihormati kembali viral.
Berbagai gerakan membangun kesadaran budaya Nusantara pun semakin meningkat. Sebab apa yang disampaikan oleh Ustadz Basalamah telah menyentuh kesadaran publik tentang pentingnya membangun karakter atas dasar kultur bangsa. Berbagai bentuk protes yang melahirkan gerak kebudayaan itu sangatlah wajar, mengingat rakyat Indonesia telah lama dibangun kesadarannya, khususnya oleh Bung Karno. Dalam begitu banyak orasinya, Bung Karno selalu menegaskan tentang kekayaan budaya Indonesia yang penuh dengan nilai-nilai kehidupan dan sejarah yang begitu membanggakan.
Dalam karakter kebudayaan yang begitu khas dan beragam tersebut, Indonesia hadir sebagai bangsa besar. Lebih lanjut Bung Karno selalu menegaskan tentang pentingnya Indonesia yang berkepribadian dalam kebudayaan sebagai salah satu pilar penting dari Trisakti. Tidak hanya itu, konsepsi pertahanan negara pun harus dibangun berdasarkan kultur bangsa dan kondisi geografis yang khas Indonesia. Karena itulah seluruh budaya bangsa menjadi ruh keIndonesiaan itu. Demikian halnya Pancasila pun digali dari buminya Indonesia yang begitu kaya dengan adat istiadat, dan falsafah yang lebih hebat dari budaya Barat sekalipun.
Dengan keanekaragaman sosial budaya Indonesia, Bung Karno menjalankan diplomasi kebudayaan. Diplomasi ini mempromosikan keseluruhan khasanah kebudayaan Indonesia, termasuk tari-tarian, seperti melalui sendratari Ramayana, gamelan, dan wayang.
Kebudayaan Nusantara oleh Bung Karno digelorakan sebagai karakter bangsa. Demikan halnya wayang dan gamelan, menjadi salah satu identitas nasional. Dari cerita wayang terkandung gambaran kehidupan sehari-hari tentang rakyat, negara, dan perjuangan mewujudkan cita-cita masyarakat adil makmur; masyarakat yang berkeadilan, di mana kebenaran selalu ditegakkan guna melawan kezoliman.
Wayang dan gamelan juga menarik kajian dari para akademisi. Bahkan gamelan dikatakan sebagai the most democratic music in the world, karena berbagai instrumen musik bisa berpadu menjadi satu menciptakan harmoni. Tidak hanya itu, wayang juga menarik perhatian Wali Songo ketika menyampaikan syiar Islam ke tanah Jawa. Para wali melihat bagaimana tradisi wayang yang begitu hidup. Lebih jauh, Sunan Kalijogo pun ikut menciptakan dan mendendangkan lagu Ilir-Ilir, Gundul-Gundul Pacul, dan Turi-Turi Putih dll., yang syarat dengan pesan keagamaan melalui cara-cara yang berkebudayaan.
Di tangan Sunan Kalijaga, wayang terbukti menjadi cara penting dalam syiar agama Islam, lalu mengapa ada sosok yang kini ahistoris mengharamkan wayang? Sementara Sunan Kalijaga begitu berhasil melakukan sintesa antara Islam dan kebudayaan Nusantara. Hasil sintesa kebudayaan ini nampak misalnya dalam sosok Yudistira. Yudistira merepresentasikan satria Pandawa yang dinilai paling jujur, dan paling bersih. Begitu kokohnya Yudistira memegang kejujuran, sampai digambarkan berdarah putih. Kehebatan Sunan Kalijaga dalam menggunakan wayang nampak dari kehebatan Yudistira dengan aji-aji, atau suatu mantra yang memiliki daya kekuatan yang hebat, yakni Serat Kalimasada. Bayangkan, bukahkah Serat Kalimasada ini merupakan manifestasi dari Kalimat Syahadat dalam Islam? Inilah bukti betapa hebatnya sintesa antara Islam dan kebudayaan tersebut.
Hebatnya wayang juga nampak dari berbagai filosofi dan pemahaman realitas sebagai pertarungan kekuatan kebenaran melawan kekuatan angkara murka. Pertarungan ini merupakan proses dialektis. Baik dan buruk melekat dalam manusia ciptaan Tuhan. Pertarungan dualitas tersebut hadir dalam cerita wayang yang sebenarnya adalah realitas kehidupan.
Cerita Wayang juga mengungkapkan berbagai intrik kekuasaan sebagaimana ditokohkan dalam sosok Durna dan Sengkuni. Kedua sosok ini juga menggambarkan realitas kekuasaan yang diwarnai dengan tipu muslihat, provokasi, dan upaya membuat lawan tersingkirkan dengan siasat yang licik. Sosok Sengkuni dan Durna pun akhirnya dilekatkan pada salah satu sosok yang menilai dirinya sebagai tokoh reformasi akibat berbagai manuver politiknya yang hanya berorientasi pada kekuasaan.
Namun cerita wayang juga mengungkapkan tentang bagaimana kebenaran menang melawan angkara murka. Hebatnya, para kesatria yang berjuang menegakkan kebenaran bukannya tanpa kelemahan. Para kesatria tersebut mengalami berbagai gemblengan dan mereka juga memiliki kelemahan manusiawi, sebab hanya Tuhanlah yang memiliki kesempurnaan itu. Kehebatan dalam cerita wayang adalah pesan kuat bagaimana para kesatria selalu dikawal oleh para Punakawan: Semar, Gareng, Petruk dan Bagong. Para Punakawan ini adalah sosok sebagai cermin wong cilik. Nasehat para Punakawan seringkali anti mainstream, tetapi mereka begitu kokoh dalam membangun kekuatan para kesatria yang dibimbingnya untuk setia pada jalan kebenaran.
Para Punakawan adalah rakyat kebanyakan, bahkan berpenampilan fisik tidak sempurna. Namun dalam ketidakkesempurnaan itu tersembunyi kekuatan batin yang luar biasa. Mengapa? Sebab rakyatlah pemegang kedaulatan kekuasaan para pemimpin negara. Di sini wayang membuktikan, bagaimana para kesatria tersebut hanya akan selamat dalam menjalankan tugasnya apabila ditemani, dibimbing oleh Punakawan sebagai manifestasi dari rakyat kecil, wong cilik, yang mendapatkan kekuatan para Dewa. Justru karena Punakawan itu hadir sebagai representasi wong cilik, maka para Dewa pun memberi kekuatan yang sejati. Dari Punakawanlah mengalir kebenaran yang disuarakan hati nurani dan pikiran yang bebas dari kepentingan sempit kekuasaan.
Cerita Wayang juga mengilhami orang tua Bung Karno, Raden Soekemi Sosrodihardjo, di dalam mengembleng Sukarno sebagai pemimpin. Soekemi seorang berdarah bangsawan Jawa, penganut theosofi dan bekerja sebagai guru. Sementara itu, ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai, berdarah bangsawan dari kerajaan Singaraja, Bali. Hubungan Sukarno dan ibunya sangat dekat. Dari ibunya, Sukarno diperkenalkan pendidikan budi pekerti dan para tokoh kesatria dalam cerita pewayangan yang lekat dalam memperjuangkan hak-hak rakyat tertindas. Dari kisah pewayangan itulah, kesadaran perjuangan sukarno untuk membebaskan rakyat Indonesia terbentuk. Dari ayahnya, Sukarno mendapatkan pembelajaran tentang karakter, kecintaan pada alam-ekologis, dan keterbukaan. Sementara itu, pengasuhnya, Mbok Sarinah, menginspirasi Sukarno untuk mencintai dan mengasihi orang kecil, wong cilik.
Dengan berbagai cerita di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa dari cerita wayang, peradaban Indonesia dibangun dan mendapat pengaruhnya. Jadi, daripada mengharamkan wayang, sebaiknya kenali, dan pahami keseluruhan makna cerita yang terkandung di dalamnya. Wayang adalah ritual kehidupan. Merdeka!
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS