
Belum adanya kejelasan soal penyerahan fasum, maupun fasilitas sosial (fasos) oleh sebagian besar pengembang ini, juga dinilai berpotensi menciptakan ‘negara di dalam negara’. Pasalnya, pengembang bisa berbuat ‘semaunya’ di lahan fasum di wilayahnya.
”Kami lihat masih banyak fasum yang dikelola pengembang dijadikan lahan bisnis. Padahal, mestinya itu serahkan ke Pemkot Surabaya. Ini adalah bagian dari kewajiban mereka karena membangun investasi di kota ini,” ungkap Ketua Komisi C DPRD Surabaya Syaifuddin Zuhri, kemarin.
Komisi C menengarai, praktik tersebut masih terjadi karena pemkot setengah hati dalam menegakkan perda. Yakni Perda Nomor 7/2010 tentang Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Pada Kawasan Industri, Perdagangan, Perumahan dan Pemukiman.
Menurut Syaifuddin, banyak pengembang yang nyata-nyata tidak menyerahkan fasilitas umum dan fasilitas sosial kepada pemkot. Di sisi lain, Pemkot Surabaya terkesan membiarkan praktik ini terjadi, sehingga aturan yang ada menjadi sia-sia.
”Ini kan aneh, wong perda sudah ada. Bahkan Perwali Nomor75/2012 tentang Tata Cara Penyerahan Prasarana, Sarana dan Utilitas Pada Kawasan Industri, Perdagangan, Perumahan dan Permukiman Kepada Pemerintah Daerah, juga sudah diterbitkan,” ujar legislator yang juga Sekretaris DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya itu.
Pengelolaan fasum di milik pengembang, sebut Kaji Ipuk, sapaan akrab Syaifuddin, seharusnya sudah menjadi wewenang Pemkot Surabaya secara penuh. Yakni sejak surat keterangan rencana kota (SKRK) dikeluarkan pemkot, dan diterima oleh pengembang.
Yang terjadi saat ini, ungkapnya, pemkot masih menunggu proses serah terima dari pengembang. Sementara, selama belum diserhkan ke pemkot, lahan-lahan fasum tadi banyak yang dimanfaatkan untuk bisnis lain.
“Mestinya tidak boleh terjadi lagi. Karena itu, harus ditertibkan dan ditata ulang. Jika tidak, pengembang akan berbuat seenaknya di lahan fasum,” ungkapnya.
Dia menilai, saat ini posisi pemerintah kota lemah dibanding pengembang, jika menyangkut persoalan fasum. Seperti bangunan reklame di lahan fasum, yang tak tersentuh pemerintah kota, baik pajak maupun IMB reklame.
”Kalau ini dibiarkan, lantas Pemkot Surabaya dianggap apa? Mereka ini kan bernaung di wilayah hukum Kota Surabaya, harusnya patuh dan tunduk dengan aturan yang sudah digulirkan, apalagi bentuknya sudah perda dan perwali,” imbuh dia.
Persoalan fasum ini diseriusi Komisi C karena masuk ke wilayah penataan ruang, dan konsistensi penatagunaan lahan. Apalagi, banyak pengaduan terkait fasum yang masuk ke Komisi C, tidak bisa diselesaikan karena dewan tidak punya data bukti serah terima fasum dari pengembang ke Pemkot Surabaya.
Oleh karena itu, Komisi C mengagendakan pemanggilan stakeholder terkait dan seluruh pengembang di wilayah hukum Kota Surabaya untuk rapat dengar pendapat. Komisi bidang pembangunan ini perlu mengundang mereka untuk mengingatkan, sosialisasi, sekaligus sebagai langkah penertiban lahan fasum. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS