Oleh: Bambang Asrini Widjanarko
KARYA seni yang menggambarkan tokoh biasanya mewakili siasat seniman memotret lakon zaman. Sebaliknya, apakah mampu seorang tokoh berbicara lantang demi negeri via seni?
Sebuah ajang bazaar seni terheboh se-Asia dan Pasifik, Art Basel di Hongkong yang dibuka pada Minggu ke-III Maret ini menampilkan patung realistik jenazah Fidel Castro. Para pengunjung sibuk berswafoto dengannya. Netizen dan media online dunia juga mengunggah foto-foto dramatis Castro.
Seolah-olah mendiang Castro, mantan pemimpin tertinggi revolusi negara Kuba selama 50 tahun itu masih “bernafas” dan lemah terbaring tenang di ranjang dengan pakaian militer.
Pematungnya, Shen Saomin, seniman yang bekerja di dua kota Sydney-Beijing mengutarakan bahwa patung Castro memang dibuat unik. Berbeda dengan patung para pemimpin komunis lain yang ikut dipamerkan seperti Mao Zedong, Vladimir Lenin, Kim Jong-il serta Ho Chi Minh yang terbungkus kaca.
Saomin mengaku, ia memang berniat membuat patung yang dibuat awal serialnya pada 2009, kala Castro masih hidup seraya mengkritisi para pemimpin dunia lainnya.
Terutama, negara-negara industri maju yang tergabung di G-8, yang satu dekade terakhir “lunglai” pertumbuhan ekonominya dibanding negara komunis.
Dengan jitu seniman patung ini menangkap ruh zaman, menohok “jantung kapitalisme di Hongkong”, yang justru dirayakan di Art Basel itu.
Obey mengenalkan pada publik AS sebuah poster berjudul “Hope” yang menggambarkan potret Obama dalam balutan warna biru, putih dan merah yang menyala plus teks provokatif.
Poster berfigur Obama tersenyum simpatik itu menjadi “ikon” impian masyarakat AS melepaskan krisis dunia pada 2008.
Hasilnya, Obama terpilih menjadi Presiden, karena sebuah perpaduan kampanye presiden yang didukung seniman dan strategi viral di media sosial yang membuahkan hasil cemerlang.Meski kita tahu, Amerika sampai saat ini belum “selamat” dari krisis keuangan dunia.
Saomin sesadar-sadarnya, dengan ekspresi personalnya, tanpa didukung oleh rezim Xi Jinping, pimpinan tertinggi partai Komunis Cina, atau Raul Castro yang menjadi pengganti Fidel Castro, membuat patung-patung mereka di pameran industri seni.
Sementara, Obey yang tergerak dengan seni sebagai propaganda publik, dengan inisiatifnya sendiri “melawan” pemerintahan George W Bush lewat poster-poster “Hope” tersebut sejak Oktober 2008 yang melambungkan nama Obama.
Dua seniman ini, pada masa yang berdekatan, dengan strategi dan visinya sendiri bertutur, dituntun nuraninya, tanpa harus menunggu “Biro Humas Kepresidenan” atau konsultan kampanye calon Presiden yang mendukungnya.
Tokoh sekaligus patron seni
Obama adalah Presiden yang gemar bermanuver politik dengan seni rupa. Mungkin, ia terinspirasi dari poster wajahnya kala menjadi kandidat presiden.
Ia, seperti dikatakan salah seorang kritikus dunia, bisa jadi seorang “kurator seni yang terampil”. Karena Presiden AS keturunan Afro-Amerika ini dengan lihai dan berulang kali secara halus berdiplomasi lewat lukisan.
Salah satunya dalam lawatannya ke Kuba Februari 2016 lalu. Obama, waktu itu menyeleksi backdrop lukisan yang tepat dalam jumpa pers-nya dengan para aktivis politik di kedutaan AS di Havana.
Obama pun mengundang pelukis pembangkang Michel Mirabal dengan karyanya “My New Friend” yang mengabstrasikan warna-warna bendera AS plus Kuba sekaligus di jumpa pers.
Obama menghormati Castro, dengan warna bendera Kuba yang tertera di kanvas Mirabal dan warna bendera AS samar-samar. Sebuah tindakan yang cerdik, mengapresiasi para pembangkang politik yang melawan pimpinan otoriter negara Kuba tersebut tanpa membuat malu tuan rumah.
Bagaimana dengan Vladimir Putin? Pemimpin Rusia yang memegang sabuk hitam beladiri Judo, yang sampai sekarang oleh netizen dan media sejagat disebut the most Russian macho-man ini tak mau kalah.
Sejak 2009, ia harus menandingi ketenaran Obama. Putin membuktikan bahwa jiwanya punya sensitivitas seni, tidak melulu maniak olah raga beladiri.
Ia melukis sendiri sebuah karya dan dilelang di sebuah acara amal! Putin yang berjiwa muda, yang selalu tampil memesona memperoleh 750.000 euro atau setara Rp 10,8 miliar dari karyanya itu.
Banyak pengamat seni harus mengelus dada dengan kualitas karya Putin, yang disebut sekadar “basa-basi”, bagai seorang pelukis pemula yang kebetulan menjadi seorang presiden.
Gaya Soekarno
Kita patut berbangga, Soekarno berbuat lebih dari para pemimpin dunia itu. Menggunakan seni rupa dalam diplomasi politik tingkat tinggi, seperti memasang lukisan pelukis Henk Ngantung di Istana Negara.
Lukisan itu, tak tanggung-tanggung dijadikan backdrop jumpa pers dengan mengundang pewarta seluruh dunia tentang kemerdekaan Republik Indonesia.
Soekarno benar-benar jatuh cinta pada seni, secara otomatis ia adalah seorang pelukis yang berbakat dan seorang patron seni di Indonesia yang hebat.
Masyarakat pada Agustus 2016 lalu di Galeri Nasional Indonesia (GNI) sudah menyaksikan salah satu karyanya berjuluk “Rini” (1958). Ia berkolaborasi dengan pelukis Istana Presiden, salah satu maestro pelukis realis kita, Dullah.
Sementara, sebelumnya, pada masa-masa ia diasingkan oleh Belanda di Endeh pada 1936-1938, Soekarno menghasilkan lukisan-lukisan naturalistik dari cat air yang menawan.
Kedekatannya dengan seniman-seniman, baik pelukis dan pematung, serta penyair dan sastrawan, membuatnya menjadi kolektor dan apresian seni andal yang tak tertandingi, bahkan sampai saat ini.
Soekarno mampu membangun nilai-nilai kesejarahan, sebuah jalan abstraksi yang kuat tentang bagaimana Indonesia meski masih tertatih-tatih berdiri, namun dilabuhi sepenuh hati lewat seni.
Koleksi Soekarno pribadi, yang dihibahkan pada negara, lebih dari separuh di antara 3.000-an karya seni yang dikelola negara di enam Istana Presiden, yakni Istana Merdeka, Istana Negara (Jakarta), Istana Cipanas, Istana Bogor, Istana Yogyakarta, serta Istana Tampak Siring (Bali).
Bercermin pada figurnya dan warisan-warisannya, tokoh seni sekaligus patron seni sekaliber Soekarno-lah yang sebenarnya dibutuhkan Indonesia.
Sementara, terutama para pemimpin dan tokoh-tokoh kita saat ini bersibuk “meraba-raba dalam gelap”, mengindentifikasi apa yang sesungguhnya yang diperlukan Indonesia dalam suasana muram menghadapi adanya ancaman terhadap kebinekaan kultural kita.
Alih-alih mengimplementasikan strategi kebudayaan dengan program-program yang kuat, nyatanya lebih banyak mereka menggunakan para “selebritas seni” demi kepentingan-kepentingan pragmatisme politik jangka pendek.
Layak kita menoleh, mereguk rasa kehausan spiritual akan makna menjadi manusia dan imaji keindonesiaan dengan sebuah komitmen bersama, sebagai sebuang bangsa, seperti apa yang pernah diujarkan Chairil Anwar dengan sajak Persetujuan dengan Bung Karno pada 1948:
“Bung Karno!
Kau dan Aku Satu Zat Satu Urat
Di Zatmu di Zatku Kapal-Kapal Kita Berlayar
Di Uratmu di Uratku Kapal-Kapal Kita Bertolak dan Berlabuh”
Sumber: Kompas
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS