PERISTIWA mengejutkan tidak selalu harus mengagetkan, tetapi justru dapat menyejukkan dan menenteramkan. Peristiwa tersebut adalah penegasan Ketua MPR Zulkifli Hasan dalam berita utama harian Kompas, 9 Oktober 2014. Ia antara lain menjamin keberhasilan pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober, menegaskan sebagai Ketua MPR, ia akan mengayomi semua pihak berdasarkan Pancasila dan Konstitusi, bersedia ”pasang badan” agar pemilu presiden tidak dipilih oleh MPR, tetapi melalui pemilihan langsung, tidak akan mengembalikan MPR menjadi lembaga superbody, serta menyerukan, ”saatnya bangsa bersatu” dan tidak saling jegal.
Tekad tersebut juga disampaikan berulang-ulang di sejumlah media untuk meyakinkan kesungguhannya, tidak sekadar beretorika. Hari berikutnya, presiden terpilih Joko Widodo bertemu Ketua MPR, Ketua DPD Irman Gusman, dan Ketua DPR Setya Novanto, bersepakat berkomunikasi reguler setiap bulan untuk membahas agenda negara yang dianggap penting. Roh kenegarawanan mengubah politisi menjadi negarawan.
Beberapa peristiwa tersebut tak sekadar kejadian, tetapi dapat dianggap sebagai simptom, bahkan pertanda yang dapat dimaknai sebagai kehadiran ”roh kenegarawanan” dalam kehidupan politik. Masyarakat sangat berharap energi dan daya sengat roh dapat mengubah politik gaduh menjadi lebih teduh; merambah di kalangan kader partai politik dan mampu menembus sekat-sekat politik kekuasaan yang mencoba membilah masyarakat menjadi kawan dan lawan.
Kemampuan mengusir politik riuh menjadi politik ber-roh akan menyuburkan wacana publik yang memuliakan, merayakan, dan merawat keragaman untuk membangun persatuan dalam perbedaan serta mewujudkan impian bersama. Diskursus publik akan mengasah rasionalitas publik, bukan insanitas (insanity) publik.
Lawan politik tidak harus ditundukkan dan dianggap musuh bebuyutan, tetapi partner dalam berlomba berbuat baik sehingga menghasilkan kebijakan publik yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Adu siasat dalam politik menjadi pertandingan cerdas tentang gagasan dan agenda urgensi yang menguntungkan rakyat. Muaranya hanya satu, rakyat harus menjadi pemenang dalam berbagai jenis dan level kompetisi politik.
Meskipun demikian, mungkin tidak sedikit kalangan masyarakat belum percaya dengan interpretasi terhadap beragam peristiwa tersebut. Hal itu dapat dipahami mengingat panggung politik setelah pemilu presiden telah menjadi arena laga adu kuat dan nafsu membara memperebutkan kedudukan dan kekuasaan.
Ambisi buta tersebut disertai sejumlah ancaman, antara lain menggagalkan pelantikan presiden dan wakil presiden, amandemen Undang-Undang Dasar 1945 untuk mengembalikan MPR sebagai superbody, dan memveto otoritas pemerintah dalam mengangkat pejabat. Kumandang politik yang intimidatif menimbulkan rasa miris (cemas dan galau) dalam masyarakat. Rakyat mendambakan politik teduh dan mengayomi, bukan pertarungan hidup-mati memburu ambisi.
Kehadiran roh kenegarawanan mendorong pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla tidak perlu memaksakan diri memperoleh dukungan mayoritas di parlemen. Pertama, parlemen yang kuat dapat menjadi peta jalan menuju proses presidensialisasi yang menegaskan presiden adalah pemegang kekuasaan dan tanggung jawab pemerintahan.
Oleh karena itu, presiden mempunyai keleluasaan dan tingkat independensi yang tinggi memilih para menteri agar pemerintahannya berjalan efektif. Kedua, mengingat sistem presidensial legitimasi Presiden dan DPR sama kuat, mandat rakyat kepada presiden dapat dimaknai bukan semata-mata kekuasaan memerintah, melainkan yang tak kalah penting adalah mandat melakukan persuasi kepada parlemen agar pemerintahannya berjalan lancar.
Oleh karena itu, diperlukan kepemimpinan yang kuat disertai dengan keluwesan berkomunikasi; bukan mencla-mencle, dalam berinteraksi dengan parlemen. Pengalaman membuktikan bahwa dukungan parlemen mayoritas, tanpa kepemimpinan yang kuat, toh pemerintahan tidak efektif.
Ketiga, kontrol parlemen yang kuat mendorong pemerintahan yang akan datang harus bekerja keras membuat kebijakan yang benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat, disertai dengan tingkat transparansi dan akuntabilitas politik yang tinggi. Publik harus diberikan akses seluas-luasnya kepada lembaga kepresidenan menyalurkan aspirasinya melalui asosiasi atau perkumpulan yang mempunyai beragam kepentingan yang spesifik.
Dengan demikian, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla mempunyai basis politik kerakyatan yang kuat. Fundamen politik kerakyatan yang kokoh dapat merupakan kekuatan tanding yang mempunyai daya tekan yang kuat terhadap parlemen kalau institusi tersebut mencoba menggagalkan kebijakan pemerintah yang pro rakyat. Tidak perlu terjadi kemacetan politik.
Politik tanpa roh kenegarawanan ibarat manusia hanya tinggal ”apa”-nya (badan wadak, raga, jasmani) karena kehilangan ”siapa-nya” alias sukmanya. Politik menjadi monster kekuasaan, dalam imajinasi Thomas Hobbes (1588–1679) diilustrasikan sebagai binatang laut bernama Leviathan yang ganas dan serakah. Kehadiran roh kenegarawanan ibaratnya sinar terang yang menembus kepekatan bayang-bayang nafsu kuasa yang diproduksi oleh politik transaksional. Gerhana politik telah lewat. Tahun-tahun mendatang diharapkan tidak lagi terjadi politik jegal-menjegal, apalagi politik saling jagal.
Oleh karena itu, para elite, terutama yang secara terbuka menyatakan komitmennya memajukan bangsa, dapat merawat iman politiknya: kepentingan rakyat di atas kepentingan apa pun, terlebih kepentingan kekuasaan yang transaksional.
J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Sumber: Kompas
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS