BANYUWANGI – Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani menegaskan, daerahnya selalu surplus beras. Karena itu, dia tak ingin beras impor masuk wilayahnya.
”Banyuwangi tidak perlu impor beras. Di sini selalu surplus, bahkan beras Banyuwangi dikirim ke berbagai daerah. Sudah saya rapatkan dengan dinas terkait, kita hitung neraca beras, dan jelas bahwa tidak perlu beras impor masuk daerah ini,” kata Ipuk, kemarin.
Sesuai Dinas Pertanian dan Pangan, pada 2020, Banyuwangi menghasilkan 788.971 ton gabah kering giling (GKG) atau setara 495.079 ton beras.
Adapun tingkat konsumsi beras sebesar 165.411 ton. Sehingga pada 2020 terdapat surplus 329.668 ton beras.
Memasuki Januari-Maret 2021, data Dinas Pertanian dan Pangan menyebutkan, produksi GKG Banyuwangi sebesar 158.892 ton atau setara 99.705 ton beras. Adapun tingkat konsumsi Januari-Maret 2021 sebesar 41.415 ton, sehingga terdapat surplus 58.290 ton beras.
”Riset kita, konsumsi beras per kapita warga Banyuwangi sekitar 94,47 kilogram per orang per tahun. Jadi kita sudah hitung, tahun 2021 ini kita targetkan produksi sekitar 491.000 ton beras, lalu tingkat konsumsi sekitar 165.000 ton, maka ada surplus 325.000 ton beras. Dengan surplus yang besar, tentu tidak perlu beras impor masuk Banyuwangi,” bebernya.
Kader PDI Perjuangan ini menegaskan, jangan sampai beras impor masuk ke daerah sentra pangan seperti Banyuwangi, karena bisa berakibat pada turunnya harga gabah petani.
“Kalau beras impor masuk, harga gabah petani bisa semakin tertekan. Makanya kami tidak ingin beras impor masuk Banyuwangi,” tambah dia.
Untuk meningkatkan nilai tambah petani, pihaknya mendorong pengembangan beras organik. Sejumlah lahan beras organik kini terus dikembangkan di Banyuwangi.
Pemkab Banyuwangi juga memberi bantuan pupuk organik secara merata ke seluruh kecamatan dan desa. ”Dengan beras organik, ada nilai tambah yang bisa meningkatkan kesejahteraan petani,” sebutnya. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS