JAKARTA -Ketua Bidang Penggalangan Tani Dewan Pimpinan Nasional Relawan Perjuangan Demokrasi (DPN-Repdem) Sidik Suhada mengatakan, terbitnya Perpres No 39/2014 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, bisa menghancurkan usaha ekonomi para petani.
“Kebijakan ini tidak hanya berdampak negatif terhadap kemandirian bangsa. Ketergantungan pada modal asing juga akan menghancurkan usaha ekonomi para petani. Karena, kebijakan pepres tersebut secara otomatis akan menyingkirkan para petani dan menjauhkan usaha pertanian rakyat di dalam negeri,” tandas Sidik Suhada, Rabu (7/5/2014).
Dalam rilis yang diterima Infokom PDI Perjuangan Jatim, Sidik menyebutkan, dalam perpres itu usaha pertanian rakyat yang seharusnya dilindungi pemerintah justru dijadikan salah satu bidang usaha yang dapat diliberalisasi dengan kepemilikan modal asing sebanyak 30-95% . Sehingga dapat dipastikan, dengan ditandatanganinya perpres No.39 Tahun 2014 sebagai bentuk implementasi pelaksanaan UU No 25/2007 Tentang Penanaman Modal yang sangat liberal itu, usaha para petani lokal yang selama ini sudah kembang-kempis akan semakin tersingkir.
Keberadaan Perpres 39/2014 yang ditandatangani Presiden SBY pada 23 April 2014 ini, jelas Sidik Suhada, tentu semakin mengukuhkan diri bahwa SBY sebagai perpanjangan tangan penjajahan model baru. “Karena telah menyediakan karpet merah untuk meliberalisasi semua sektor yang ada. Padahal dengan melibatkan modal asing yang dominan di sektor pertanian tentu akan semakin memperburuk usaha pertanian dan merapuhkan bangunan struktur ekonomi nasional,” ucapnya.
Dia menambahkan, dengan dibukanya investasi modal asing di dalam usaha industri pertanian ini, tentu juga akan membawa dampak perubahan pada aktor pertanian pangan yang selama ini dikelola secara mandiri oleh para petani di pedesaan. Yakni, akan berubah kearah penguasaan industrialisasi pertanian yang dipegang dan dimiliki oleh korporasi. Sehingga jumlah rumah tangga petani di pedesaan pun terus berkurang dan berganti menjadi buruh tani.
Trend penurunan jumlah rumah tangga petani ini, lanjutnya, dapat dilihat di data BPS hasil sensus pertanian 2013 yang menyebutkan bahwa selama 10 tahun dari 2003-2013 rumah tangga petani berkurang 16% atau sekitar 5,04 juta keluarga rumah tangga tani.
Bahkan dalam satu tahun terakhir ini, menurut data BPS per Februari 2014 ini sebanyak 280.000 orang berusia kerja produktif tidak lagi menjadi petani. Penyebab utama berkurangnya jumlah rumah tangga petani ini tentu dampak dari sebuah kebijakan pemerintah yang tidak lagi punya kepedulian terhadap usaha sektor pertanian rakyat. Sehingga para petani yang rata-rata tinggal di pedesaan merasa bahwa usaha pertanian bukanlah jenis usaha yang bisa menjanjikan kesejahteraan.
“Ketika para petani sedang berada dalam situasi sulit dan kehilangan harapan, Presiden SBY justru semakin aktif membuat kebijakan-kebijakan untuk meliberalisasi semua sektor pertanian. Sehingga para petani banyak beralih profesi menjadi buruh di perkotaan,” kata Sidik.
Tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap usaha pertanian rakyat ini tentu berbeda dengan kebijakan pemerintah terhadap usaha pertanian korporasi. Setidaknya, hal itu dapat dilihat dari jumlah peningkatan perusahaan perusahaan pertanian yang berbadan hukum. Pada tahun 2003 total jumlah perusahaan pertanian di Indonesia tercatat sebanyak dari 4.011, tahun 2013 naik menjadi 5.490 ribu atau 36,77%.
Dengan demikian, imbuh Sidik Suhada, selama 10 tahun Presiden SBY berkuasa ternyata gagal total dalam membangkitkan usaha sektor pertanian. Kegagalan ini terjadi karena SBY tidak bersedia melaksanakan apa yang disebut sebagai pembaruan agraria.
“Tanpa pembaruan agraria sejati sebagaimana amanat TAP MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan amanat UUPA NO.5 tahun 1960, dapat dipastikan kedaulatan nasional di bidang pertanian tidak akan pernah terwujud,” tutupnya. (pri)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS