SAYA masih menyimpan catatan-catatan kecil campursari dari acara pembukaan Pekan Kerja Nyata Revolusi Mental di Stadion Manahan, Solo, Jawa Tengah, Jumat 25 Agustus 2017.
Dalam buku panduan acara yang dibagikan ke publik oleh panitia penyelenggara, dituliskan bahwa Presiden Joko Widodo akan hadir dan menyampaikan pidato pembukaan. Namun, Presiden tidak jadi atau batal menghadiri acara ini.
Sebagai pengganti, hadir Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. Ia menyampaikan sambutan atau pidato pembukaan.
Pidato ini dipuji dua perempuan cantik dari Sulawesi Utara, yakni Bupati Bolaang Mongondow Yasti Soepredjo Mokoagow dan Wali Kota Kotamobagu Tatong Bara. Dua perempuan ini adalah kader andalan Partai Amanat Nasional (PAN).
“Bagus sekali Ibu Puan pe sambutan,” kata Yasti dengan logat Sulawesi Utara yang kental. “Sapa kang (siapa sih) penasihat pembuatan teks pidato itu?” tanya Tatong Bara.
Di pesawat terbang dalam perjalanan pulang Jakarta, saya tanya siapa penulis teks pidato itu kepada Puan Maharani yang duduk di sebelah saya. “Saya sendiri. Saya sampaikan sambutan itu tanpa teks,” ujar Puan.
“Melalui Instruksi Presiden Nomor 12 Tahun 2016 tentang Gerakan Nasional Revolusi Mental, setiap kementerian/lembaga serta pemerintah daerah ditugaskan untuk mengambil alih langkah-langkah sesuai tugas, fungsi dan kewenangannya untuk menjalankan Gerakan Revolusi Mental,” kata Puan di Stadion Olahraga di Solo yang sedang ditimpa panas terik sinar matahari siang itu.
Ratusan kepala desa/lurah dan puluhan gubernur, bupati/wali kota, hingga camat dari seluruh Indonesia hadir di tempat itu. Para pejabat yang hadir antara lain Menko Polkam Wiranto, Menko Perekonomian Darmin Nasution, Mendagri Tjahjo Kumolo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri Kesehatan Nila S Moeloek, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Walikota Solo FX Rudianto dan seterusnya.
“Gerakan Nasional Revolusi Mental membutuhkan keteladanan. Salah satu wujud nyata keteladanan yang harus diwujudkan pemerintah adalah meningkatkan pelayanan publik, semakin ramah, dan semakin simpatik pada rakyat. Pelayanan yang tepat waktu, tepat prosedur, tepat biaya, tepat pelayanan yang memberikan kepuasan kepada rakyat,” demikian kata Puan dalam pidato tanpa teks yang dipuji Yasti dan Tatong itu.
Kemudian Puan Maharani dan para pejabat yang hadir menggoyang-goyangkan badan bersama ratusan prajuit TNI, polisi, dan pelajar sekolah dalam irama lagu dangdut senam “Gemu Fa Mi Re”.
“Nona manis putarlah ke kanan, ke kanan, ke kanan dan ke kanan ke kanan dan ke kanan manise,” demikian bunyi sepenggal syair lagu berlogat wilayah Indonesia timur itu.
Usai acara di stadion yang dibangun menjelang rontoknya pemerintahan diktator Orde Baru di bawah Soeharto itu, Ketua Seknas Jokowi, M Yamin, meminta kepada saya, “Sekarang tulis dong yang bagus-bagus tentang Jokowi dan pemerintahannya.”
Dengan suara lirih di tengah gemuruh musik goyang dangdut “Gemu Fa Mi Re”, saya mengatakan, “Pemerintah ini perlu tulisan kritik, bukan kata-kata puji-pujian seperti manisnya gula yang menyebabkan sakit ginjal dan diabetes yang kemudian kaki dan tangan pemerintah diamputasi.”
Setelah berbincang singkat dengan Yamin, saya membaca beberapa penggal kalimat di buku panduan acara Pekan Kerja Nyata Revolusi Mental yang baru pertama diselenggarakan di Indonesia ini.
“Revolusi Mental pertama dilontarkan Presiden Soekarno pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 1956. Revolusi Mental adalah gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia menjadi manusia baru yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api menyala-nyala.”
Di bawah kalimat itu, ada lagi kalimat lain seperti berikut ini. “Kini setelah 72 tahun bangsa Indonesia merdeka, dan 15 tahun masa reformasi, bangsa Indonesia justru menghadapi tiga masalah pokok, yakni merosotnya wibawa negara, melemahnya sendi-sendi perekonomian nasional, dan krisis kepribadian Indonesia.”
Sebelum terbang ke Jakarta, Puan Maharani dan Ganjar Pranowo makan di sebuah warung di tepi jalan berdebu. Puan pesan menu gudeg telur dibungkus untuk dibawa ke Jakarta.
Di warung itu, Puan dan Ganjar diskusi seru tentang Kabinet Kerja, masalah kapal ikan cantrang, dan aksi unjuk rasa menentang pembangunan pabrik semen di wilayah Gunung Kendeng di Jawa Tengah.
Kemudian saya tanya tentang perombakan kabinet. Kedua tokoh PDI Perjuangan itu diam seribu basa. Diskusi di warung itu tentu tidak bisa dipublikasikan.
Di dalam pesawat terbang pulang ke Jakarta, saat itu ada Ny Iriana Joko Widodo dan rombongan pengawal, para ajudan dan para pembantunya di kelas ekonomi. Suasana di kelas ekonomi tentu jadi lebih sibuk dan ribet.
Ketika pesawat terbang ada di angkasa antara Solo dan Jakarta, Puan Maharani sempat mengeluhkan sebuah pertanyaan wartawan yang pernah diajukan kepadanya.
“Wartawan itu tanya seperti ini, ‘Lho, Ibu Menko PMK Puan Maharani kok bacaannya majalah wanita?’ Saya jawab, ‘Saya kan perempuan, masa harus selalu baca majalah atau koran politik melulu’,” kata Puan.
Inilah kisah campursari dari acara mengumandangkan kembali Revousi Mental di kota asal Jokowi, Solo. Unik, bukan?
JOSEPH OSDAR
Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis
Sumber: Kompas
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS