MUMPUNG presiden terpilih masa bakti 2014-2019 belum menetapkan susunan kabinet yang akan berperan serta menentukan kinerja sang presiden, maka dengan penuh kerendahan hati saya sebagai rakyat Indonesia memberanikan diri mengajukan beberapa permohonan.
Kabinet memegang peran utama sebagai pembantu presiden dalam menunaikan tugas memimpin negara dan bangsa. Karena itu, saya memohon agar dalam membentuk kabinet kepresidenannya, presiden terpilih Joko Widodo berkenan fokus menjunjung tinggi kepentingan rakyat, bukan kepentingan partai politik, golongan, keluarga, apalagi dirinya sendiri.
Insya Allah, presiden yang baru berkenan meningkatkan kekebalan lahir-batin dirinya terhadap ancaman virus amnesia yang merajalela di singgasana kepresidenan Republik Indonesia sehingga tidak melupakan janji-janji manis kepada rakyat pada masa kampanye. Jangan pernah lupa bahwa yang memilih presiden melalui pemilihan umum adalah rakyat, bukan parpol!
Semoga presiden terpilih Jokowi saat memilih para menterinya bukan sekadar bagi- bagi jabatan berdasarkan konspirasi politik demi mempertahankan kekuasaan, melainkan berdasarkan realitas kebutuhan dan profesionalisme.
Presiden yang baru perlu menyadarkan segenap menteri kabinetnya, bahkan segenap aparatur negara, bahwa makna istilah pemerintah bukan berarti berhak memerintah, tetapi benar-benar tulus mengabdikan diri bagi kepentingan rakyat!
Semoga presiden yang baru menghapus perangkapan-tugas kementerian agar para menteri dapat memusatkan konsentrasi pada tugas tunggalnya.
Alasan penghematan tidak relevan sebab kinerja menteri yang tidak fokus malah menimbulkan benturan, bahkan konflik kepentingan antara tugas-tugas yang beda satu dengan lainnya. Ujung-ujungnya malah jadi pemborosan energi-lahir-batin dan biaya!
Kementerian
Demi mencegah ketidakfokusan bahkan kebingungan akibat terlalu banyak permohonan, saya fokus memusatkan permohonan saya hanya pada kehadiran kementerian kebudayaan secara mandiri pada kabinet presiden ke-7 RI ini.
Banyak alasan untuk menentang kehadiran kementerian kebudayaan yang sampai dengan masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono masih dianggap penting-memang-penting-tetapi-sebenarnya-tidak-terlalu-penting sehingga cukup ditempelkan pada kementerian lainnya.
Terkesan urusan kebudayaan diposisikan lebih rendah ketimbang urusan pemberdayaan perempuan yang diberi fasilitas kementerian khusus.
Kebudayaan diletakkan di depan pariwisata di masa kementerian kebudayaan dirangkap pariwisata, lalu digeser ke belakang ketika ditempelkan ke kementerian pendidikan.
Olahraga yang sebenarnya merupakan subbagian dari kebudayaan, yang setara dengan kesenian, malah diutamakan dengan menghadirkan Komite Olahraga Nasional Indonesia, sementara belum pernah ada Komite Kesenian Nasional Indonesia. Padahal, dalam kesenian Indonesia terbukti tidak kalah mengharumkan nama Indonesia ketimbang olahraga, apalagi sepak bola!
Bisnis olahraga dianggap lebih menguntungkan ketimbang bisnis kesenian, padahal sudah dibuktikan sebaliknya oleh Amerika Serikat dan Korea Selatan!
Alasan menolak kementerian kebudayaan malah dipermantap secara konstitusional akibat DPR sudah membuat undang-undang untuk membatasi jumlah kementerian.
Gara-gara hanya setengah hati dianggap perlu, dengan sendirinya kehadiran kementerian kebudayaan diletakkan di antrean paling belakang nun jauh di belakang kehadiran kementerian-kementerian yang dianggap mutlak perlu!
Kebudayaan
Akibat berbentuk lebih abstrak ketimbang ekonomi, politik, dan militer, maka sulit meyakini bahwa kementerian kebudayaan sebenarnya benar-benar perlu, padahal sebenarnya sudah terbukti berhasil ditatalaksanakan oleh kementerian-kementerian kebudayaan di Brasil, Australia, Kamboja, Taiwan, Tiongkok, Kolombia, Kroasia, Ceko, Denmark, Mesir, Estonia, Perancis, India, Lituania, Lebanon, Selandia Baru, Korea Utara, Norwegia, Polandia, Portugal, Slowakia, Slovenia, Spanyol, Turki, Thailand, Suriah, Afrika Selatan, Swedia, dan entah mana lagi.
Fakta bahwa kini jumlah negara anggota UNESCO sudah lebih banyak melampaui jumlah negara anggota PBB merupakan bukti nyata betapa dunia masa kini menjunjung tinggi kebudayaan!
Fakta bahwa jalur militer, politik, dan ekonomi tidak berhasil memadamkan kobaran api perang di marcapada ini menggarisbawahi jalur kebudayaan lebih indah untuk ditempuh demi menjalin pengertian, persahabatan, dan perdamaian antarbangsa.
Fakta membuktikan bahwa Indonesia masih tertatih-tatih dalam menghadapi kemelut persaingan politik, ekonomi, dan teknologi era globalisasi, padahal dalam hal perbendaharaan keanekaragaman kebudayaan, Indonesia sulit tertandingi negara mana pun juga di planet Bumi ini!
Bagi mereka yang masih meragukan apa yang dapat dipersembahkan kementerian kebudayaan bagi negara, bangsa, dan rakyat Indonesia, saya berani menjamin bahwa para tokoh budayawan Nusantara, seperti Gus Mus, Romo Franz Magnis-Suseno, Jakob Oetama, Goenawan Mohamad, Aristides Katoppo, Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, Emil Salim, Bantei Pannyavaro, Anies Baswedan, Syafii Maarif, Siti Musdah Mulia, Ibunda Nuriyah Wahid, para putri Gus Dur, M Sobary, Radhar Panca Dahana, Emha Ainun Najib, Ninok Leksono, para laskar cendekia-budayawan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Institut Teknologi Bandung, Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga, Universitas Hasanuddin, dan lain-lain pasti siap siaga membantu presiden menyusun garis besar haluan rencana kerja kementerian kebudayaan, demi meraih cita-cita terluhur bangsa Indonesia: masyarakat adil dan makmur!
Jaya Suprana
Rakyat Indonesia; Pencinta Kebudayaan Indonesia
Sumber: Kompas
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS