SURABAYA – Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya Whisnu Sakti Buana menegaskan, KPU tidak bisa seenaknya menunda Pilkada 2015 hanya karena masalah calon tunggal. KPU diminta menempuh opsi penghentian tahapan pemilihan, yakni tidak bisa melanjutkan dari tahap pendaftaran ke tahapan penetapan calon.
“Kalau Pilkada 2015 ditunda ke Pilkada 2017, itu melanggar UU No 8/2015, khususnya pasal 201 dan 202,” tegas Whisnu, di kantor DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya, Jalan Kapuas 68, Selasa (4/8/2015).
Pasal 201 UU 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah itu menegaskan, bahwa Pilkada 2015 digelar untuk daerah yang masa jabatan kepala daerah-wakil kepala daerahnya habis 2015 dan antara Januari-Juni 2016. Sedangkan pasal 202 UU menyebutkan, Pilkada 2017 untuk daerah yang masa jabatan kepala daerah-wakil kepala daerahnya habis tahun 2017 dan antara Juli-Desember 2016.
Menurut Whisnu, masa jabatan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya habis 28 September 2015, sehingga momentum pilkada adalah digelar tahun 2015. Di dalam UU 8/2015, jelas Whisnu, tidak ada aturan yang memberi ruang regulasi bagi pemindahan waktu Pilkada 2015 ke 2017, kecuali alasan-alasan luar biasa yang telah ditetapkan seperti bencana alam, kerusuhan, dan alasan spesifik lainnya.
Baca: Jika Pilkada Ditunda, PDI Perjuangan Surabaya Tempuh Jalur Hukum
KPU, lanjut Whisnu, tidak bisa dengan seenaknya membuat aturan sendiri yang melanggar UU di atasnya, dan kemudian menerbitkan sendiri kewenangan yang tidak diatur UU. Seharusnya, tambah dia, dalam kondisi seperti saat ini KPU tidak mengobral pernyataan tentang penundaan pilkada, melainkan menyarankan pada pemerintah untuk mencari terobosan hukum.
“Apakah mau diakomodir calon tunggal, atau Pilkada mau ditunda tahun 2017, harus dengan peraturan yang hirarkinya sama dengan undang-undang. Tidak bisa hanya, sekali lagi hanya, berpayung hukum Peraturan KPU yang derajatnya lebih rendah dari undang-undang,” katanya.
KPU Tidak Transparan
Sementara, Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Surabaya Adi Sutarwijono menyatakan, pihaknya akan minta penjelasan lebih dahulu kepada publik, bagaimana mengatasi ketentuan pasal 201 dan 202 UU 8/2015 yang isinya dinilai sangat telak, jelas dan tegas.
KPU pusat dan daerah, sebut Adi Sutarwijono, tidak pernah transparan kepada publik, bahwa ada ketentuan yang tidak bisa diingkari pada pasal 201 dan 202 UU 8/2015, di mana ketentuan itu telah dilanggar oleh Peraturan KPU 12/2015 pasal 89A ayat 3.
“Mengapa KPU pura-pura tidak tahu atas ketentuan tersebut dan hanya berbicara tentang opsi penundaan tahun 2017 untuk daerah yang mengalami calon tunggal?” tanya Awi, sapaan Adi Sutarwijono.
Oleh karena itu, tambah Awi, yang tepat di situasi saat ini, KPU hanya menghentikan tahapan pemilihan, yakni tidak bisa melanjutkan dari tahap pendaftaran ke tahap penetapan calon. “Karena apa? Untuk penetapan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah, KPU terikat pasal 52 ayat 2, UU No 8/2015, bahwa KPU menetapkan minimal dua pasang calon,” katanya.
Baca juga: Risma: Kalau dengan Uang, Mungkin Tidak Ada Calon Tunggal
Setelah menyatakan tidak bisa melanjutkan ke tahapan penetapan, imbuh Awi, langkah KPU adalah melaporkan kepada pemerintah. Hirarki pertanggungjawaban itu, jelas dia, telah diatur dalam UU 15/2011 tentang Pemilu maupun UU 8/2015 tentang Pilkada.
“Maka, tugas pemerintah untuk mencari terobosan hukum guna menyelesaikan persoalan calon tunggal. Karena Pilkada serentak kali ini dijepit oleh dua ketentuan telak, di satu pihak ketentuan penetapan minimal dua pasang calon, di pihak lain ketentuan tentang waktu penyelenggaraan Pilkada pada pasal 201 dan 202,” ujarnya.
Sementara itu, meski hanya satu pasangan calon wali kota dan wakil wali kota yang mendaftar, KPU Surabaya secara resmi belum menyatakan penundaan Pilkada 2015 ke Pilkada 2017. Saat ini, KPU Surabaya menunggu 1-2 hari untuk menunggu surat edaran KPU RI untuk sebagai landasan dan pegangan. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS