SURABAYA – Ketua Komisi D DPRD Surabaya Agustin Poliana mengatakan, pengadaan permakanan untuk warga miskin tidak lagi dilaksanakan dengan sistem swakelola. Pengadaan bantuan permakanan untuk warga miskin dengan kategori lansia, yatim piatu, dan penyandang cacat ini harus dilaksanakan melalui proses lelang.
Menurut Agustin, alokasi anggaran dalam APBD Surabaya dengan nomenklatur “permakanan” di dinas sosial ini menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebab, program permakanan sejak 2012 ini nilainya selalu di atas Rp 200 juta.
Selama ini, jelas anggota Fraksi PDI Perjuangan ini, pengadaan permakanan awalnya per bungkus nilainya Rp. 4.000 hingga Rp 11.000. Untuk tahun 2016, dana yang disiapkan cukup besar, yakni Rp 105 miliar.
Oleh karena nilainya di atas Rp 200 juta, tambah Agustin, sesuai ketentuan harus dilelang,
“Kami minta Dinsos mengikuti aturan ini. Jangan sampai akibat pengadaan dengan sistem swakelola yang melibatkan beberapa kelompok masyarakat, justru berakhir dengan persoalan hukum. Kami tidak ingin masyarakat nantinya menjadi korban,” kata Agustin Poliana, kemarin.
Perempuan yang akrab disapa Titin ini minta Dinsos Kota Surabaya untuk kembali melakukan pendataan ulang jumlah lansia, anak yatim, anak yatim piatu, serta warga cacat, secara perodik di seluruh wilayah dalam setiap tahunnya.
Sesuai laporan masyarakat, ungkapnya, penerima permakanan ini jumlah dan orangnya tetap sejak 2012. Jika ada warga lansia terbaru, jelas Titin, harus menunggu jika sudah ada yang meninggal dengan alasan pagu (kuota).
“Ini tidak boleh terjadi lagi. Lakukan pendataan secara terus menerus, karena setiap tahun pasti berubah. Komisi D siap memback-up anggarannya, berapapun jumlahnya,” tegas Titin.
Dia juga berharap, jangan karena alasan sistem lelang, nantinya akan menghapus peran masyarakat yang selama ini terlibat di usaha pengadaan permakanan. Masyarakat, sebut dia, tetap bisa terlibat, misalnya dengan cara menjadi sub ke pemenang lelang.
Dalam pengelolaan makanan selama ini, Dinas Sosial melibatkan pihak kecamatan, kelurahan, dan masyarakat, yakni warung maupun organisasi binaannya. Dari kelurahan, biasanya turun ke RW, dan mereka menyediakan makanan 80 bungkus, atau 200 bungkus, tergantung besar kecil wilayahnya.
Untuk permakanan dengan nilai Rp 11.000, imbuh Titin, tidak perlu harus ada ISO, sertifikat halal dan beberapa syarat lelang lainnya. Sebab persyaratan itu hanya akan mempersulit, bahkan cenderung untuk mensiasati agar tidak ada peserta lelang yang mengikuti. Buntutnya, karena ada keinginan tetap di-swakelolakan,” ucapnya. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS