JAKARTA – Langkah partai-partai dalam Koalisi Merah Putih yang mendorong pilkada lewat DPRD dikecam PDIP. Partai yang bakal menjadi the ruling party hingga 2019 itu menyebut sikap akrobatik partai-partai yang jagonya kalah dalam Pilpres 2014 tersebut telah merusak sistem demokrasi.
Arya Bima, juru bicara PDIP, mengatakan, meski pernah kalah dalam pemilu, partainya tidak pernah merusak sistem yang telah lama dibangun. ”Ibu Mega juga pernah kalah dua kali (dalam pilpres) dan berada di luar pemerintahan. Tapi, kami tidak merusak sistem. Tidak mengamburadulkan sistem,” kata Arya Bima di kediaman Megawati Soekarnoputri, Jalan Teuku Umar, Jakarta, kemarin (7/9).
PDIP yang bersama PKB, Nasdem, dan Hanura merupakan partai pendukung Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) pada pilpres lalu lebih menghendaki mekanisme pilkada tetap dilaksanakan secara langsung, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Hingga saat ini, dalam pembahasan revisi RUU Pilkada, pihak pemerintah yang diwakili Kemendagri termasuk yang mendukung usul tersebut.
Di luar itu, fraksi-fraksi dari KMP menghendaki mekanisme pilkada dipilih melalui DPRD. Anehnya, Partai Demokrat, the ruling party saat ini, tidak segaris dengan sikap pemerintah. Partai pimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut termasuk yang ada di gerbong pendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Arya mengatakan, mengembalikan pemilihan ke DPRD hanya merupakan upaya pemutarbalikan sejarah demi kekuasaan. ”Itu tentu mengganggu konsolidasi demokrasi yang sudah berjalan selama ini,” ujarnya.
Jika Koalisi Merah Putih (KMP) solid dari tingkat pusat hingga akar rumput, kepala daerah di 34 provinsi seluruh Indonesia ke depan berpotensi disapu bersih. Itu bisa terjadi jika mekanisme pemilihan kepala daerah tidak lagi dilaksanakan secara langsung, melainkan dipilih DPRD.
Di DPRD provinsi hampir seluruh Indonesia, kursi Koalisi Merah Putih plus Partai Demokrat (KMP plus) merupakan mayoritas. Hanya di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Bali kekuatan KMP plus tersebut berimbang dengan kekuatan politik lainnya. Di DPR Aceh kepemilikan kursi KMP plus (37 kursi) hampir sama dengan kepemilikan kursi total tiga partai lokal Aceh (35 kursi). Di antara 81 jumlah kursi yang ada, partai-partai pendukung Jokowi-JK di sana hanya memiliki total 9 kursi.
Sementara itu, di Bali partai-partai yang tergabung di kolisi pendukung Jokowi-JK mampu mengimbangi kekuatan KMP plus. Empat partai pendukung Jokowi-JK total memiliki 27 kursi. Jumlah itu sama dengan kepemilikan kursi KMP plus.
Dukungan fraksi-fraksi mendorong pilkada tak langsung itu terkesan mendadak. Awalnya mayoritas lebih mendukung pilkada tetap dilaksanakan secara langsung. Partai Golkar termasuk yang sempat belum mengambil keputusan, namun akhirnya memilih opsi pemilihan kepala daerah oleh DPRD dalam perjalananan pembahasan RUU Pilkada terakhir.
Fungsionaris Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, keputusan mendukung pilkada tak langsung merupakan jalan tengah. Partai Golkar menilai, banyak fakta yang menunjukkan pilkada dengan pemilihan langsung memiliki banyak kekurangan.
”Kesimpulan sementara, lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya bagi rakyat dan kehidupan yang tenteram dalam berbangsa dan bernegara,” ujar wakil bendahara umum Partai Golkar tersebut.
Bambang menyatakan, pihaknya memutuskan memilih opsi pilkada lewat DPRD tidak semata-mata agar memiliki kesamaan pandangan dengan KMP. Partai Golkar sudah melakukan kajian lama terkait mekanisme pilkada langsung. Dari ribuan pilkada yang sudah digelar, justru ada sejumlah catatan negatif yang membuat berkurangnya kualitas pemilihan langsung. ”Pertikaian antar pendukung, ras, dan suku selalu mewarnai setiap pilkada,” ujar Bambang.
Deputi Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai, pilkada langsung merupakan kesempatan besar partai di tingkat lokal untuk mendekatkan diri dengan pemilih. Masa kampanye dalam pilkada adalah waktu penting bagi partai politik membuktikan kedekatannya dengan konstituen. ”Dengan mengembalikan pilkada ke DPRD, partai takut akan sikap kritis pemilih yang cerdas dalam menentukan pilihan politiknya,” ujar dia.
Masykurudin menuding partai-partai pendukung pilkada melalui DPRD sebagai pihak yang takut dievaluasi publik. Pada level eksekutif, pemilih berhak memberikan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan. Bila pemilih menilai selama kepemimpinan partai di daerah itu dipandang buruk, pemilih dengan mudah tidak lagi memilih calon dari partai tersebut. ”Kalau pilkada dipilih DPRD, berarti partai takut akan adanya evaluasi publik atas kinerja pemerintahannya,” ucap dia.
Parpol yang mendukung pemilihan kepala daerah lewat DPRD, tampaknya, juga enggan menjadi partai terbuka. Dalam pilkada langsung, aspek keterbukaan dari partai menjadi salah satu kunci kemenangan. Semakin partai membuka diri terhadap proses pencalonan yang menyerap aspirasi, peluang menang makin terbuka. ”Bila pilkada kembali ke DPRD, ketakutan terhadap apa yang terjadi di internal partai politik yang sesungguhnya adalah lembaga publik,” ujarnya.
Dalam proses pilkada langsung, elemen organisasi masyarakat sipil punya kesempatan untuk meningkatkan kualitas demokrasi di tingkat lokal. Kontrak-kontrak politik yang dibangun antara pemilih dan calon yang didukung partai adalah bagian penting untuk membangun akuntabilitas pemerintahan. ”Kalau pilkada dipilih DPRD, partai politik ketakutan terhadap pemantauan kinerja pemerintahan dari elemen masyarakat sipil tersebut,” ujarnya. (dyn/bay/c10/sof) Jawa Pos
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS