”UJIAN sebenarnya bagi PDI-P bukan saja ketika partai ini berada di luar pemerintahan. Ujian terbesar justru ketika kita berada dalam pemerintahan.” Begitulah pernyataan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri saat membuka Rapat Kerja Nasional IV PDI-P di Semarang, Jawa Tengah, Jumat (19/9).
Pernyataan itu tentu bukannya tanpa alasan. Selama hampir 10 tahun menghidupi karakter oposisi, kini PDI-P harus berubah menjadi partai pemerintah. Transformasi besar di internal PDI-P harus dilakukan karena karakter partai oposisi, partai di luar pemerintah, jelas bertolak belakang dengan partai pemerintah.
Megawati menyebutkan, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah mentalitas dan sikap politik kader, sejalan dengan keberadaannya sebagai partai pemerintah. Selain itu, internal PDI-P juga harus menata dan melakukan sinkronisasi tiga pilar partai, struktur partai dari DPP hingga anak ranting, kader partai di legislatif, serta kader partai di eksekutif.
PDI-P bukan kali ini saja menjadi partai pemerintah. Jika dirunut ke belakang, PDI-P memenangi pemilu untuk pertama kali pada 1999. Meski memenangi pemilu, di MPR, Megawati hanya terpilih menjadi wakil presiden mendampingi Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Gejolak politik di tingkat elite pada 2001 memaksa Gus Dur lengser dari kursi presiden. Sebagai wapres, Megawati diangkat menjadi presiden untuk meneruskan lebih dari tiga tahun sisa masa pemerintahan. Saat itulah PDI-P mengenyam pengalaman menjadi partai pemerintah.
Pada 2004, PDI-P gagal memenangi pemilu dan hanya jadi runner-up di bawah Partai Golkar. Dalam pemilihan presiden yang pertama kali digelar secara langsung, PDI-P juga gagal mengantar Megawati menjadi presiden. Setelah itu, pada Kongres II di Bali tahun 2005, PDI-P bersikap di luar pemerintah.
Pada kontestasi politik 2009, PDI-P kembali gagal memenangi pemilu dan hanya menempati peringkat ketiga. Pada Pemilu Presiden 2009, PDI-P juga gagal mengantar Megawati menduduki kursi presiden. Selanjutnya, pada Kongres III di Bali tahun 2010, PDI-P kembali menegaskan sikap politiknya untuk tetap berada di luar pemerintah. Yang membedakan dari kongres sebelumnya, PDI-P meneguhkan dirinya sebagai partai ideologis.
Perubahan lain dalam Kongres III, meski berada di luar pemerintah, PDI-P memilih untuk mengelola partai identik dengan mengelola negara. Struktur partai pun berubah, terbagi dalam bidang-bidang yang identik dengan kementerian.
Perubahan dalam Kongres III itu setidaknya membantu PDI-P saat kini harus mengubah haluan politik menjadi partai pemerintah. Sebuah perubahan yang wajar ketika PDI-P kembali memenangi Pemilu 2014, bersama koalisi dan relawan berhasil mengantar kader PDI-P, Joko Widodo, dan pasangannya, Jusuf Kalla, menjadi presiden dan wakil presiden terpilih.
Ketika kini PDI-P menjadi partai pemerintah, transformasi partai menjadi keniscayaan. Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, ada tiga langkah perubahan yang harus dilakukan PDI-P, yaitu penegasan ulang komitmennya dalam pemberantasan korupsi, transformasi menjadi partai modern, serta PDI-P harus mampu menjadi pemimpin konstelasi politik di parlemen ataupun konstelasi politik di daerah. PDI-P perlu becermin dari kegagalan Partai Demokrat di parlemen, yang sering gagal memenangi pertarungan di DPR walau dominan.
Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang berpandangan, legislator dari PDI-P juga harus mengubah mentalitas dan karakter oposisi yang selama ini cenderung mengkritik pemerintah. Kata Yunarto, PDI-P harus mampu membangun koalisi dan kerja sama yang lebih kuat di parlemen. (Ferry Santoso/Wahyu Haryo)
Sumber: Kompas
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS