BLITAR – Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah menegaskan, sila-sila di dalam Pancasila sudah final dan tidak mungkin bisa diubah sebagai dasar pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Nilai-nilai Pancasila lebih baik dari komunisme, lebih baik dari Deklarasi Kemerdekaan AS, dan juga dari ideologi khilafah versi ISIS.
Hal itu ditegaskan Ahmad Basarah ketika berbicara dalam seminar bertema “Meneguhkan Nasionalis Agamis sebagai Penyokong Utama Pancasila” di gedung pertemuan rumah dinas Wali Kota Blitar Blitar, Senin (5/6/2017).
Acara itu dilaksanakan sebagai rangkaian peringatan Hari Lahir Bung Karno dan Juni sebagai Bulan Bung Karno (BBK).
Menurut Basarah, berdasarkan penelitian doktoralnya, dapat disimpulkan bahwa letak Pancasila adalah di atas UUD 1945. Isi aliena keempat Pembukaan UUD 1945 hanya sila-sila Pancasila, tetapi norma dasarnya tidak ada.
“Maka, kalau Pancasila diletakkan, dia di atas UUD 1945. Di mana letak norma dasar Pancasila? Letaknya ada pada isi pidato Bung Karno 1 Juni 1945,” sebut Ketua Fraksi PDI Perjuangan MPR ini.
Baca juga: Peringatan Bulan Bung Karno Akan Rutin Digelar di Kota Blitar
Artinya, kata Basarah, MPR bisa saja mengubah UUD 1945, tetapi tidak bisa mengganti Pancasila, karena berada di atas UUD 1945. Pancasila tak bisa diubah lagi kecuali NKRI bubar atau ada evolusi politik yang luar biasa.
Hal itu penting ditegaskan, karena bagi PDIP tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila bukan demi mengubah urutan sila Pancasila. “Sebab, yang kita akui dengan peringatan 1 Juni adalah falsafah dasar atau dasar utama Pancasila itu sendiri,” terang legislator DPR RI dari dapil 5 Jatim ini.
Di hadapan lebih dari seribu peserta seminar, Basarah menjelaskan sejarah lahirnya Pancasila. Pada pidato 1 Juni 1945, Bung Karno menjelaskan pertama kali soal lima sila Pancasila sebagai dasar kemerdekaan Indonesia.
Sila pertama sampai kelima adalah kebangsaan, kemanusiaan, demokrasi, musyawarah mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan.
Apabila tidak mau lima sila, maka bisa diperas menjadi tiga sila (trisila) menjadi sosionasionalisme, sosiodemokrasi, dan ketuhanan. Apabila ingin diperas lagi menjadi satu sila, jadilah gotong royong.
Setelah itu, pidato di BPUPKI itu dilanjutkan dengan pembentukan Panitia 8 oleh Dr Radjiman. Oleh Bung Karno, karena merasa tidak adil bila dari 8 anggota hanya ada dua perwakilan kelompok agama, maka dibentuk lagi tim bernama Panitia 9.
Isinya 4 orang perwakilan kelompok kebangsaan, empat dari kelompok keagamaan Islam, dan Bung Karno sebagai ketua. Tim inilah yang melahirkan Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, di mana sila ketuhanan menjadi yang pertama dengan tambahan kata “berdasarkan syariat Islam”.
Maka, ujarnya, ketika Bung Karno disebut tidak menghargai ketuhanan, karena pada pidato 1 Juni soal Ketuhanan dijadikan sila kelima, itu salah besar. Kalau sejarah tak dimanipulasi, sila Ketuhanan sebagai penegasan antitesa materialisme komunisme, selalu dimasukkan sebagai dasar negara. Bahkan, pada Piagam Jakarta menjadi sila teratas.
“Jangan salah, Piagam Jakarta yang diklaim sebagai milik kelompok Islam awalnya karena inisiatif Bung Karno mendirikan Panitia 9. Jadi, tanpa ada inisiatif Bung Karno, tidak akan ada piagam itu,” ungkapnya.
Namun, setelah itu, datanglah surat dari Latuharhary kepada Moh Hatta yang memberi catatan soal Piagam Jakarta. Isinya adalah curahan hati non-Muslim, yang merasa berat dengan isi sila pertama dengan kata “berdasar syariat Islam”.
“Bagaimana kami, yang non-Muslim, bisa terlibat dalam membangun Indonesia? Itu catatan yang disampaikan ke Hatta,” kata Basarah, yang menulis disertasinya dengan berbasis penelitian terhadap Pancasila.
Oleh Hatta, catatan itu didiskusikan dengan tokoh bangsa saat itu, termasuk dengan tokoh Islam dari Muhammadiyah dan NU. Para tokoh itu lalu meletakkan kepentingannya demi NKRI. Akhirnya 7 kata di sila pertama piagam Jakarta berubah menjadi sila pertama Pancasila seperti saat ini.
“Itulah ijtihad ulama saat itu, dan itu adalah hadiah terbesar umat Islam kepada Indonesia. Jadi, kalau ada tokoh Islam saat ini yang mempersoalkan kembali Pancasila dengan disebut produk kafir dan thogut, maka mereka dengan sadar telah menistakan para alim ulama saat itu yang mendirikan Pancasila,” tuturnya.
Basarah menegaskan, PDIP bersikap bahwa Pancasila jelas lebih baik dari komunisme, karena Pancasila mempunyai sila Ketuhanan yang Maha Esa. Pancasila lebih baik dari deklarasi kemerdekaan AS karena punya sila keadilan sosial. Pancasila lebih baik dari sistem khilafah islamiyah ala ISIS, karena Pancasila mempunyai sila persatuan Indonesia.
“Pancasila lebih baik dari semua ideologi itu,” tegas Ketua Badan Sosialisasi MPR RI itu. (goek/*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS