Selasa
26 November 2024 | 6 : 36

Pancasila, Guru, dan Pendidikan di Dunia Mendatar

Ardhie Raditya

Setiap memasuki bulan Oktober, kita merayakan dua momentum akbar. Pertama, hari kesaktian Pancasila pada 1 Oktober. Mengapa Pancasila dianggap sakti? Ini persoalan ideologi kesakralan. Di tangan Presiden Soekarno, Pancasila menjadi kekuatan perlawanan terhadap imperialisme asing. Sementara, di tangan Presiden Soeharto, Pancasila menjadi alat propaganda untuk menumpas lawan-lawan politiknya.

Bukan sebatas itu, penghayatan Pancasila yang seharusnya tumbuh di tengah masyarakat seakan dipersempit oleh rezim Orde baru hanya di ruang-ruang penataran formal. Hal ini membuat Pancasila kehilangan ruh kesakralannya, tuna makna. Secara Sosiologi pengetahuan, Pancasila pada masa Orde Lama merupakan dunia kenyataan yang disadari bersama. Sebaliknya, di masa Orde Baru, Pancasila merupakan dunia utopia yang sengaja dipaksakan kepada rakyatnya.

Kedua, setiap 5 Oktober Unesco menetapkannya sebagai hari guru se-dunia. Betapa mulianya status guru di dunia ini, sehingga dirayakan secara internasional. Sejak 1994, negara-negara anggota Unesco, termasuk juga Indonesia, bersepakat meningkatkan kesejahteraan kelas sosial guru. Supaya, para guru di setiap negara bekerja sebaik-baiknya tanpa terancam krisis ekonomi keluarga.

Sebagaimana dilansir harian The Guardian akhir-akhir ini, dari 30 negara anggota OECD, Indonesia tergolong negara yang gaji gurunya rendah. Gaji guru di Swiss saja, sebesar US$ 68.820/tahun (sekitar 837 juta/tahun). Gaji guru di Korea, US$ 47.340/tahun. Di Jepang, US$ 45.930/tahun. Sementara, gaji guru di Indonesia totalnya US$ 2.830/tahun. Ini belum termasuk upah tragis di kalangan guru honorer, meski mereka telah mengabdi puluhan tahun. Sebaliknya, kesejahteraan guru dan dosen di negeri kita kalah telak dibandingkan dana kesejahteraan anggota dewan.

Padahal, karakter pendidikan kita sekarang mengalami perubahan drastis. Dulu, pendidikan kita berpusat pada metode ceramah, sehingga sumber belajarnya terkonsentrasi pada guru. Kini, di abad teknologi komunikasi global, sumber belajar sangat melimpah. Materi pelajaran, bahkan perkuliahan, bisa dengan mudah ditelusuri di dunia digital, dunia maya, melalui jaringan nirkabel.

Berdasarkan data statistik digital, pengguna internet di Indonesia mencapai 88,1 juta jiwa. 79 juta jiwa di antaranya adalah pengguna media sosial aktif. Mereka umumnya usia muda. 35 juta di antaranya berusia 20-29 tahun (40% perempuan dan 60% laki-laki). Pengguna berusia 13-19 tahun sebanyak 26 juta orang (50% perempuan dan 50% laki-laki). Sebanyak 12 juta orang lainnya berusia 30-39 tahun (38% perempuan dan 62% laki-laki). Sisanya, pengguna media sosial aktif berusia 50-60 tahun ke atas yang jumlahnya sekitar 2,5 juta orang.

Kondisi inilah yang disebut Friedman (2008) sebagai dunia yang semakin mendatar (The World is Flat). Dalam dunia yang mendatar, bangsa kita akan kebanjiran bonus demografis dari generasi muda yang melek digital. Generasi muda ini memiliki karakteristik yang terdidik, berpikiran terbuka, inovatif, kreatif, dan fleksibel. Mereka dikenal sebagai generasi digital atau generasi Net (Gen-Net). Sayangnya, Spracklen (2015) menjelaskan generasi Net ini cenderung memprioritaskan kesenangan digital (digital leisure). Sehingga, mereka megalami krisis refleksi dan analisis masyarakat resiko yang sarat ancaman. Salah satu contoh adalah terperangkapnya anak muda ke dalam jaringan global ideologi garis keras. Akibatnya, fenomena sosial akan mereka baca dalam kerangka definisi fanatisme keagamaan. Mereka melupakan moderasi keagamaan dan kebangsaan yang menjadi mantra sakti Pancasila.

Atas dasar itulah, sejatinya posisi guru, termasuk dosen, di abad digitalisasi pendidikan ini sangat kompleks. Mereka tidak mungkin lagi sebatas mengandalkan proses pendidikan hanya di ruang kelas. Pertama, posisi guru profetik. Guru tidak bisa mengandalkan hanya metode ceramah sebagai metode pendidikan. Mereka harus kreatif mengkombinasikan dengan berbagai metode pendidikan, misalnya kritis, konstruktif, dan partisipatoris. Mereka sudah waktunya memberikan sebaik mungkin bagi para peserta didiknya untuk mensirkulasikan otonomi kesadarannya dalam ruang pembelajaran. Termasuk, dalam dunia kesadaran teologisnya. Supaya, otonomi kesadaran mereka bisa menjadi pemantik dialog multikultural.

Kedua, guru kritis dan aktivis. Selama ini, institusi pendidikan seringkali dianggap bebas nilai atau objektif. Padahal, setiap institusi selalu dikelola, bahkan dikendalikan, oleh kelompok elite atau kelas sosial tertentu. Sehingga, siapa yang mengendalikan institusi pada setiap jenjang pendidikan memiliki agenda ekonomi politik terselubung. Sudah sering kita dengar sejumlah guru dan murid dibatasi atau dikrontrol diskursus politiknya. Sehingga, mereka terkesan dibatasi membicarakan kehidupan bangsa yang runyam karena hiruk-pikuk politik nasional dan intervensi imperalisme asing.

Padahal, kekuatan pendidikan dalam sejarah anti kolonial berkontribusi penting bagi bangkitnya kemerdekaan. Ini bisa kita telusuri dari jejak sejarah perjuangan Soekarno, Cokroaminoto, Ki Hadjar Dewantara, Hatta, Tan Malaka, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, Kartini, dan sebagainya. Mereka semua dibesarkan dalam lingkungan pendidikan yang menumbuhkan diskursus politik dan gerakan sosial anti penjajahan.

Kini, penjajahan di negeri ini beraneka ragam. Bukan lagi Belanda, Inggris, maupun Jepang yang menjajah Indonesia dengan kekuatan perang. Tetapi, berupa kapitalisme, birokratisme, rasisme, politik populisme, terorisme, neoliberalisme, dan lainnya. Maka, proses pendidikan anti kolonialisme baru ini tidak mungkin digantungkan sepenuhnya pada kerja institusi formal pendidikan semata.

Ketiga, guru yang aktif digital. Hayes (2010) mencatat bahwa perkembangan kurikulum teknologi berbasis digital sudah dilakukan di negara maju sejak tahun 2010-an silam. Guru-guru di sekolah atau dosen di kampus negara maju, seperti Amerika dan Eropa, memberikan dua model pendidikan. Yakni, pendidikan berbasis perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras ini berkaitan dengan alat-alat teknologi pendidikan, seperti laptop, pemancar jaringan, papan elektronik, dan sejenisnya, yang disediakan secara gratis dan mudah akses. Sedangkan, perangkat lunak mengacu pada kapasitas yang mumpuni untuk mengoperasikannya. Sehingga, guru bukan lagi sebagai orator ulung di kelas digital, melainkan sebagai fasilitator, konselor, dan konsultan bagi para peserta didiknya.

Apakah ekosistem digitalisasi pendidikan di negeri ini sudah tergolong layak atau dimanfaatkan oleh semua lapisan kelas sosial? Apakah perangkat keras dan lunak ini di negeri kita berhasil menekan mahalnya biasa pendidikan? Inilah pekerjaan rumah yang harus dipikirkan oleh pemerintah, termasuk elite yang mengelola kebijakan pendidikan kita. Bukan malah memikirkan bagaimana caranya menjilat atasannya demi mempertahankan jabatan dan menggerogoti proyek anggaran tanpa makna.  

Akhirnya, kompleksitas tugas guru di abad teknologi ini harus dibarengi dengan komitmen negara terhadap dukungan dana kesejahteraan mereka. Jika tidak, berarti guru, termasuk dosen, selama ini diperas keringatnya demi agenda kapitalisme dan birokratisme pendidikan. Karenanya, mengabaikan konsensus moral sebagaimana yang dirumuskan oleh negara-negara anggota Unesco. Termasuk juga, menyalahi program revolusi mental yang dijalankan pemerintahan sekarang. Mengingkari konsensus moral dan revolusi mental menunjukkan indikasi degradasi nilai-nilai kepancasilaan, bukan? Apa kata dunia? Tanyalah pada hatimu, kawan. (*)

BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tag

Baca Juga

Artikel Terkini

KRONIK

Hari Guru Nasional, Bupati Fauzi Apresiasi Dua Pendidik Raih Prestasi Tingkat Nasional

SUMENEP – Pada peringatan Hari Guru Nasional 2024, Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo memberi apresoasi atas ...
KABAR CABANG

Untuk Risma-Gus Hans dan Eri-Armuji, PDIP Surabaya Gelar Doa Bersama dan Santuni Anak Yatim Piatu

SURABAYA – Memasuki hari kedua masa tenang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2024, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) ...
LEGISLATIF

DPRD Surabaya Bentuk Pansus Raperda Pengembangan Ekraf

SURABAYA – Sidang paripurna ketiga DPRD Surabaya pada Senin (25/11/2024) memutuskan pembentukan panitia khusus ...
EKSEKUTIF

Usai Cuti Kampanye, Eri Pastikan Pengerjaan Proyek Strategis di Kota Surabaya

SURABAYA – Setelah dua bulan cuti kampanye Pilkada 2024, Eri Cahyadi kembali ke Balai Kota Surabaya melanjutkan ...
LEGISLATIF

Jaga Kepercayaan Rakyat dan Pastikan Pilkada Berlangsung Demokratis, Pulung Harap APH Netral

SURABAYA – Anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Pulung Agustanto menyoroti pentingnya netralitas ...
KABAR CABANG

Menangkan Pilgub Jatim, DPC Kota Probolinggo Perkuat Saksi

PROBOLINGGO – Memenangkan Risma-Gus Hans di Pilkada Jawa Timur menjadi sebuah harga mati bagi kader PDI Perjuangan ...