Oleh M. Eri Irawan*
IBU Megawati Soekarnoputri mengajukan diri menjadi amicus curiae atau sahabat pengadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Selain Ibu Megawati, ada sejumlah tokoh intelektual dan akademisi yang turut mengajukan diri sebagai sahabat pengadilan. Amicus curiae adalah konsep hukum yang memungkinkan mereka yang merasa berkepentingan terhadap suatu perkara memberikan pendapat hukumnya kepada pengadilan.
Ibu Megawati menyerahkan surat sebagai sahabat pengadilan kepada MK pada Selasa, 16 April 2024. Sebuah surat yang menegaskan posisi Bu Mega terhadap kehidupan demokrasi bangsa ini.
“Saya telah mencurahkan seumur hidup saya untuk menjaga demokrasi di Indonesia. Karenanya, ketika ada upaya nyata yang dilakukan untuk merusak demokrasi di dalam pemilihan umum tahun 2024—dan bahkan kerusakannya sudah terasa—saya tidak bisa berdiam diri,” tulis Ibu Megawati.
Ibu Megawati tidak pernah mengambil jalan mudah untuk menjaga dan merawat apa yang telah diperjuangkannya di bawah penindasan rezim Orde Baru (Orba). Kita semua masih ingat, bagaimana Ibu Megawati berada di garis depan untuk mengatakan ‘tidak’ dan ‘cukup’ kepada mereka yang merasa bisa seenaknya sendiri menentukan nasib negeri ini. Bu Mega memimpin gerakan rakyat melawan Orde Baru untuk menghargai kemerdekaan sebagai anugerah dari Tuhan kepada umat manusia, termasuk kemerdekaan untuk bersuara dan berbeda.
Kisah hidup Bu Mega adalah cerita tentang wajah Tanah Air yang terus-menerus dimaknai dengan perjuangan, dengan perlawanan terhadap apa yang tiran, dan pembelaan terhadap mereka yang lemah. Kisah yang menyadarkan banyak orang bahwa demokrasi tidak dihadiahkan begitu saja oleh pemegang kuasa, tapi direbut dan diciptakan dari momentum panjang tak berkesudahan—yang memuncak dalam Kongres Luar Biasa PDI di Sukolilo, Surabaya, 1993, yang kemudian melahirkan gelombang kesadaran rakyat hingga lahirlah Reformasi 1998.
Kini, saat ia menyatakan tak bisa berdiam diri, maka kita tahu, ia akan melawan dengan sehormat-hormatnya dan sekeras-kerasnya. Sebuah perlawanan yang menunjukkan adanya obligasi moral yang dibangun dari suatu proses panjang jatuh dan bangun, merasakan samsara dan duka, bersama rakyat.
Ibu Megawati memahami bahwa pada titik ini, nasib demokrasi di Indonesia berada di tangan para hakim di MK. Dia merasa harus kembali meneriakkan seruan di tengah hiruk-pikuk pragmatisme politik, tentang perlunya sikap kenegarawanan dalam memutuskan. Ini bukan soal menang dan kalah, namun soal bagaimana masa depan negeri.
Ibu Megawati ingin membangkitkan harapan banyak orang dengan mengingatkan kembali fungsi MK yang berdiri pada masa pemerintahannya sebagai presiden ke-5 Indonesia. Saat ini, MK harus bekerja keras untuk mengembalikan kepercayaan publik yang nyaris runtuh, setelah serangkaian hal kontroversial di MK yang mengiringi Pemilu 2024.
Jalan satu-satunya untuk menjawab keragu-raguan publik terhadap MK adalah dengan memutuskan sengketa hasil pemilihan presiden dengan seadil-adilnya. Peringatan Ibu Megawati bahwa pemilu berdampak sangat luas terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga para hakim MK harus mengenakan baju kenegarawanan, menggemakan kembali ucapan James Freeman Clarke, seorang teolog dan penulis Amerika Serikat, “A politician thinks of the next election. A statesman, of the next generation.” Seorang politisi memikirkan pemilu berikutnya. Seorang negarawan memikirkan generasi selanjutnya.
Ibu Megawati tahu bahwa upayanya untuk mengetuk hati para hakim MK bisa sia-sia belaka. Namun, dia juga tahu bahwa surat yang dikirimkannya akan menjadi catatan dalam kisah panjang demokrasi di Indonesia, menjadi legacy bagi mereka yang percaya bahwa demokrasi di Indonesia harus dijaga sekuat tenaga.
Maka, ketika Ibu Megawati mengingatkan para hakim MK untuk tidak mengabdi pada kekuasaan, sesungguhnya masih ada secercah prasangka baik dalam penegakan hukum dan konstitusi di negeri ini.
Ibu Megawati tahu para hakim itu membutuhkan dukungan untuk berani memisahkan antara kebatilan dan keadilan. Dan untuk itu, pilihannya untuk berkawan dengan ‘Dewi Keadilan’ menjadi bermakna dalam upaya menemukan kembali momentum demokrasi yang kini terkoyak dan boyak. []
*Kader PDI Perjuangan Kota Surabaya
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS