JAKARTA – Semangat pidato politik Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri pada acara Kongres IV PDI Perjuangan di Bali adalah mendukung pemerintahan Jokowi yang dimandatkannya. Adapun kritik tajam terhadap kinerja pemerintah dan realitas politik sekarang merupakan bentuk kepedulian Megawati.
Pengamat politik Fisip Universitas Airlangga (Unair), Haryadi menilai pidato politik Megawati Sukarnoputri memiliki konteks realitas faktualnya. “Secara umum pidato politik Megawati memuat bingkai ke-Indonesia-an,” ujar Haryadi saat dihubungi, Minggu (12/4/2015).
Menurut Haryadi, sejumlah kalangan sering tidak mengerti konteks dari pernyataan Megawati. “Inilah yang sering tak dimengerti oleh para pengritiknya. Lebih kerap Megawati dikritik melulu dengan memenggal teks pidatonya. Seakan teks pidato Megawati itu berdiri lepas tanpa konteks.,” papar Haryadi.
Menurut dia, ketika Megawati mengucapkan ada simbiosis antara kekuatan anti-partai dengan modal asing, maka ia mengilustrasikan deskripsi data kualitatifnya secara faktual.
Begitu pula, kata Haryadi, ketika ia meminta agar Presiden harus ingat janji-janjinya kepada rakyat dan taat konstitusi, maka semua berdasar konteks realitas faktual dan normatifnya. “Jadi, alih-alih pidato Megawati dianggap penuh prasangka, tapi justru para pengritiknya lah yang berprasangka dan memang sudah anti-pati berlebih terhadap Megawati,” katanya.
Untuk sebagian, kata Haryadi, sikap antipati terhadap Megawati itu karena iri melihat kenyataan Megawati sukses memimpin partai politik besar dan mampu memelihara konsolidasi partainya.
Banyak yang Terusik
Sedangkan relawan pendukung Jokowi saat Pilpres 2014, Ferdinan Hutahean menyatakan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menyampaikan pidoto politik di Kongres Bali banyak pihak yang merasa terganggu dan terusik kepentingannya di dalam pemerintahan.
Mereka yang terganggu itu adalah para antek neolib dan komprador-komprador kapitalis yang terus-menerus menyesatkan Jokowi hingga cita-cita dan janji kampanye Presiden yang serba kerakyatan berubah dan ditelikung menjadi liberalisme.
” Mereka merasa terganggu dan terusik kepentingannya, para pedagang politik itu kemudian bermanuver dengan kemampuan kapital yang mereka miliki, menguasai opini publik melalui kekuatan media dengan membeli kaum intelektual yang biasa melacurkan diri pada uang untuk menjadi corong pembentukan opini. Ini berbahaya bagi negara yang akan semakin dibelokkan arahnya dari cita UUD 45 dan Pancasila,” tutur Ferdinan.
Mereka yang terusik itu, kata Ferdinan, adalah para pendukung neolib. Mereka juga adalah komprador kaum kapitalis. Selama ini merekalah yang menyesatkan opini dan mengadu domba PDIP dengan relawan. Serta membenturkan PDIP dengan Jokowi serta mengadu domba Jokowi dengan relawan. Ini yang tidak dipahami oleh banyak pihak.
“Hingga tersesat dan turut serta menjadi wayang yang dimainkan dalang kapitalisme. PDIP adalah satu-satunya partai pengusung Jokowi yang punya ideologi, yang memahami dan menganut paham marhaenisme, yang mengerti dan memperjuangkan Trisaksi Bung Karno,” katanya. (koran-jakarta)