AWAL Maret 2014, ketika mengadakan kunjungan kerja di negeri Belanda, Wakil Presiden Boediono dan rombongan masuk ke perpustakaan Universitas Leiden.
Ketika itu, seorang perempuan muda yang mengaku sebagai wartawati tabloid kampus universitas itu mendekati saya, lalu mengajak menyaksikan dokumen koran berbahasa Melayu.
Perempuan muda Belanda asal Amsterdam yang menenteng kamera besar itu menunjukkan sebuah foto lama tokoh perempuan kelahiran Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879, dan meninggal pada 17 September 1904. Dia adalah Raden Ayu Kartini yang meninggal di usia 25 tahun di Rembang, Jawa Tengah.
Dengan bahasa Indonesia yang patah-patah, perempuan itu bercerita panjang lebar tentang tokoh Kartini. “Anda tahu mengapa dia jadi pahlawan kemanusiaan?” tanya perempuan itu. Sebelum saya jawab, ia berkata, ” Kartini banyak menuliskan pemikiran dan gagasannya. Menulis adalah salah satu indikasi bahwa seseorang adalah intelektual dan filsuf. Kartini adalah perempuan filsuf.”
“Kartini banyak menulis, membuat dirinya abadi, tetap dikenang ide-idenya,” tambahnya.
Hal lain yang saya ingat dari ucapan perempuan itu tentang Kartini adalah pujiannya kepada Presiden RI Soekarno yang mengangkat Kartini sebagai pahlawan kemerdekaan nasional.
Dari perempuan itu saya baru tahu, pada 2 Mei 1964, Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 108 Tahun 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional dan menetapkan hari lahir Kartini, 21 April, tiap tahun diperingati sebagai hari besar atau sebagai Hari Kartini.
Pada usia 12 tahun, Kartini sekolah di Europese Lagere School (ELS). Dari sekolah itu ia menguasai bahasa Belanda. Ia membaca banyak buku bermutu yang terbit di masa berdengungnya politik etis di Indonesia. Buku yang dibaca Kartini, selain koran De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft di Semarang, adalah Max Havelaar, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata) karangan Bertha von Suttner. Kartini juga menulis artikel untuk surat kabar De Hollandsche Lelie.
Penulis buku Sejarah Indonesia Modern asal Australia, MC Ricklefs, menyebut Kartini dikenang sebagai tokoh emansipasi perempuan dan tokoh kebangkitan nasional. Dikatakan pula, Direktur Pendidikan Etis Belanda JH Abendanon tertarik atas intelektualitas Kartini. Berkat jasa Abendanon ini, terbitlah tulisan atau surat-surat Kartini berjudul Door Duisternis tot Licht atau Habis Gelap Terbitlah Terang.
Ini ada beberapa komentar tentang Kartini. “Keputusan Presiden Soekarno tepat, Kartini pahlawan karena idenya luar biasa di zamannya,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
“Pemikiran kritis Kartini zaman itu asalnya dari mana, ya?” tanya Bupati Landak, Kalimantan Barat, Karolin Margret Natasa.
“Gelar pahlawan untuk Kartini dari Bung Karno ibarat pelita yang diharapkan menerangi sebagian besar rakyat Indonesia yang sampai kini masih menderita karena ulah penguasa,” komentar Ny Sumarsih yang tiap Kamis berunjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta.
(J Osdar)
Sumber: Kompas
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS