
MENGURUS surat izin mengemudi (SIM) tidak harus ‘sepintar’ mengurus izin menikah lagi. Kalau mengurus izin menikah lagi kita harus pintar meyakinkan istri pertama. Kita harus pintar memberikan ilustrasi kalau kita bisa berbuat adil. Kita harus pintar memperdaya istri pertama untuk meyakini segala ucapan kita: dialah segala-galanya dalam hidup kita selain yang baru.
Kalau urusan SIM tidak butuh kepintaran. Bahkan titel yang bisa membuat kita lebih pintar dibanding yang lain, tak ada artinya di depan petugas SIM. Mengurus SIM, begitu cerita Mat Rafi’, ditentukan oleh hoki.
Mengurus ditentukan keberuntungan. Kok bisa? Simaklah cerita Mat Rafi’ yang saya tulis ulang dengan sedikit bumbu-penyedap.
Suatu hari Mat Rafi ingin membuat SIM. Pagi-pagi benar –berdasarkan masukan tetangganya yang sudah pengalaman- Mat Rafi berangkat ke kantor samsat polres. Setelah parkir, Mat Rafi’ langsung ke tempat foto-kopian.
Di fotokopian di belakang polres pas itu, Mat Rafi’ sempat ditawari SIM kilat (:sehari selesai). Tapi karena harganya melambung tiga kali lipat, Mat Rafi’ memutuskan untuk tidak melakukan tindak kriminal. Karena harga yang selangit itu, Mat Rafi’ jadi ingat kata-kata ayahnya: Kalau ingin memperbaiki bangsa ini harus dimulai dari diri sendiri.
“Kalau ingin memberantas praktik suap atau korupsi, harus dimulai dari diri sendiri,” batin Mat Rafi’ membenarkan pesan ayahnya.
Meski lulusan SMA, Mat Rafi’ cekatan. Sebenarnya dia tidak membutuhkan waktu lebih dari lima belas menit untuk mengisi data dirinya. Tapi dia memilih lebih berhati-hati. Urusan SIM bukan sekadar urusan izin. Ini urusan keselamatan berkendara. Karena itu, Mat Rafi’ menuliskan namanya dengan pelan-pelan.
Sesekali dia memandangi huruf-huruf namanya. Sesekali dia tercenung memandangi barisan huruf yang merangkai namanya.
Mat Rafi’ menghabiskan duapuluh menit untuk menuliskan data dirinya. Duapuluh menit berikutnya dia antre di depan ruang pemeriksaan kesehatan. Ketika namanya dipanggil, Mat Rafi’ gugup. Apalagi suara petugas yang memanggil seperti bergetar di udara. Di depan ahli kesehatan –begitu Mat Rafi’ menyebut petugas yang memeriksanya- Mat Rafi’ mematut diri.
“Mas baca ini,” telunjuk ahli kesehatan menuntut mata Mat Rafi’ pada sebaris kalimat, “Demikian surat ini…”.
Mat Rafi’ menelan ludah. Kok gampang seperti ini uji kesehatannya? katanya dalam hati. Mat Rafi’ tidak langsung membaca. Dia perlu berhati-hati. “Jangan-jangan ahli kesehatan ini mau menjebaknya?” kembali Mat Rafi’ berkata dalam hati.
“Mas bisa baca?” Melihat Mat Rafi’ tak kunjung membaca, ahli kesehatan sedikit kesal.
“Saya bisa membaca, Mbak,” Mat Rafi’ menanggapi dengan lugas, kemudian senyumnya dikembangkan, “Meski saya lulusan SMA, saya bisa membaca kalimat apa pun. Apalagi kalimat segampang ini.”
“Ini bukan persoalan gampang. Silakan baca,” suara ahli kesehatan itu benar-benar memperdengarkan suara jengkel dengan sikap Mat Rafi’.
Mat Rafi’ balik bertanya, apa maksud perubahan raut dan nada ahli kesehatan. Tapi ahli kesehatan itu membentaknya, “Kalau Mas bisa baca, silakan baca. Kalau tidak bisa, Mas tidak bisa membuat SIM. Tidak perlu mengurusi raut muka orang.”
Mat Rafi’ terhenyak. Dihardik seperti anak kecil, Mat Rafi’ ingat tetangganya: Hubairi. Beberapa minggu lalu Hubairi juga membuat SIM. Setahu Mat Rafi’ Hubairi tidak bisa membaca. “Saya bukannya tidak mau membaca, Mbak. Saya punya teman yang tidak bisa membaca, tapi dia bisa membuat SIM.”
“Mas tidak terima tetangga Mas bahagia.”
“Maksud saya bukan kebahagiaan. Tapi tetangga saya tidak bisa membaca. Bagaimana dia bisa lolos dari tes kesehatan ini?”
“Mas tidak terima kalau tetangga Mas mendapatkan keberuntungan?”
“Keberuntungan?” Mat Rafi’ mengulangi kata keberuntungan dengan nada setengah tertawa. Dahinya mengerut. “Sekali lagi bukan persoalan keberuntungan. Tetangga saya tidak bisa membaca. Aturan membuat SIM kan harus bisa membaca?”
“Mas jangan meremehkan orang lain.”
“Saya tidak…” sebelum Mat Rafi’ meneruskan kalimatnya, dua teman ahli kesehatan menggandeng Mat Rafi’ keluar ruangan.
Cerita Mat Rafi’ di ruang pemeriksaan kesehatan SIM putus pada adegan ini. Dia tidak mau melanjutkan ceritanya. Ketika saya desak, dia seperti disergap keengganan yang berat. (*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS