JAKARTA – Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto berpendapat, pemilih dalam Pilkada DKI Jakarta lebih menyoroti aspek kinerja para calon ketimbang hal yang berbau SARA. Hal itu, tampak dari hasil putaran pertama pilkada 15 Fabruari lalu.
Pada ajang kontestasi pemilihan gubernur itu, pasangan nomor urut 2 Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat meraih suara terbanyak atau 42,91 persen.
Kemudian disusul pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno (40,05 persen), dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni (17,05 persen).
“Hal itu terlihat dari perolehan suara Ahok-Djarot yang unggul di Kepulauan Seribu dan Penjaringan,” jelas Hasto, saat di kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin.
Pada dasarnya, sebut Hasto, Jakarta membutuhkan pemimpin yang berani mengambil risiko menghadapi banyak masalah perkotaan.
Dia mencontohkan, dalam menghadapi banjir di Jakarta, seorang gubernur harus berani mengambil kebijakan yang tidak populer seperti merelokasi warga ke rumah susun. Hal itu, ujar Hasto, sudah dibuktikan oleh Ahok – Djarot.
“Rakyat melihat, memimpin Jakarta perlu dengan ketegasan, meskipun dengan risiko tidak populer. Kami juga mendorong Ahok-Djarot untuk sampaikan ketegasan, jauh lebih penting ketimbang hanya populer,” tutur Hasto.
Dia juga menyoroti golput ada Pilgub DKI putara pertama, yang menurutnya tidak wajar. Semestinya, kata Hasto, jumlah golput tak mencapai 22 persen sebab berdasarkan data internal PDIP, antusiasme warga Jakarta terhadap Pilkada DKI sangat tinggi.
Pihaknya melihat golput 22 persen punya makna dua, yakni 10 persen golput sisanya aspek teknis.
“Kami berpegang pada amanat konstitusi, harus dijamin hak konstitusional, dan tidak boleh tak dipenuhi hanya dengan masalah teknis administrasi,” ujarnya.
Oleh karena itu, terang Hasto, PDI Perjuangan akan mengadvokasi mereka yang tidak mendapatkan hak pilihnya di putaran pertama Pilkada DKI. (goek)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS